Di suatu pagi pada bulan Desember 2016.
Hari itu sudah memasuki musim penghujan, namun matahari rupanya masih saja terik dan terang sekali menyengat di atas kepala.
Waktu pun baru menunjukkan pukul 07.30 WIB.
Hari itu hari pertamaku di sekolah, dan aku juga jadi orang pertama yang ada di sekolah. Secara resmi, hari itulah pertama kali saya menjadi seorang guru SD di sebuah tempat yang sebelumnya saya tidak tahu lokasinya di peta. Sebelumnya saya bahkan tidak pernah membayangkan kelak akan ada di pulau yang paling ujung di utara, yang letaknya betul-betul di tengah lautan, di antara Pulau Sumatera dan Kalimantan.
***
Natuna di bulan Desember, itu kali pertama saya menginjakkan kaki di sebuah kepulauan yang dipersatukan dalam teritorial kabupaten Natuna, salah satu wilayah yang tergolong daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan dan terluar) di Indonesia. Itu awal pertama dari satu tahun saya di Natuna yang kental dengan adat dan budaya Melayu-nya.
Sekolah tempat saya mengajar ada di Pulau Tiga, masih 2-3 jam perjalanan melalui darat ditambah perjalanan menyeberangi laut untuk bisa tiba di SD kami dari kota kabupaten. Tahun 2016, sinyal internet dan listrik belum akrab menjamah desa kami. Sebagai guru, ini tantangan tersendiri untuk mulai berkreatifitas dalam mengajar di tengah beragam keterbatasan.
Setiap pagi anak-anak ramai berangkat bersama ke sekolah dengan jalan kaki. Bisa dihitung jari yang diantar orang tuanya dengan sepeda motor. Waktu itu, bapak ibu guru lainnya belum tiba di sekolah. Jadilah saya di sekolah sendiri sementara anak-anak sibuk bermain di lapangan sekolah kami yang tak seberapa luasnya. Sebagian berkejaran dengan temannya, sebagian bermain kelereng, sebagian lagi duduk di pinggir lapangan.
“Buk, kami bosan main,” kata seorang anak perempuan seusai menyalam saya yang disusul celotehan serupa anak lainnya setelah menyalam saya.
“Oke, kalau begitu sambil menunggu bel masuk sekolah mari kita ke perpustakaan ya. Jangan lupa lepas sepatunya sebelum masuk perpustakaan,” kata saya sambil bergegas ke ruang guru mengambil kunci perpustakaan.
Kala itu perpustakaan sekolah hanya bukan di jam-jam tertentu dengan pengawasan guru saja jadi kami tidak selalu membuka perpustakaan.
![]() |
Budayakan kegiatan membaca dimana saja, salah satunya bisa di halaman sekolah. |
Setelah itu beberapa jam pertama menjadi guru di pulau ini dipenuhi dengan celoteh anak-anak di perpustakaan. Ramai anak-anak yang masuk ke perpustakaan, berebut buku, berdiskusi dengan temannya, bertanya apapun yang mereka baca kepada saya, mengisi buku absen, hingga beberapa ada pula yang berakhir meminjam buku untuk dibawa pulang. Rupanya minat baca anak-anak pulau ini begitu tinggi. Antusiasme mereka yang begitu tinggi memicu saya di hari-hari selanjutnya untuk datang lebih pagi, membuka perpustakaan lebih awal, dan meladeni sesi tanya-jawab dengan mereka di perpustakaan. Hari-hari berikutnya, semakin banyak anak yang mau singgah ke perpustakaan saat sebelum bel masuk berbunyi, saat istirahat, atau sesaat sebelum pulang.
“Buk, bagaimana bisa ada anak kembar?”
“Buk kenapa bisa terjadi hujan?”
“Di Jakarta, kereta api itu seperti apa? Saya belum pernah naik kereta buk?”
Ada banyak pertanyaan yang mereka lontarkan saat itu yang jujur cukup membuat saya kewalahan sekaligus kagum dengan daya pikir mereka yang luar biasa.
Maklum saja anak-anak di sini minim hiburan, mencari toko buku pun tak ada, bahkan sekadar penjual koran atau majalah pun tidak ada seperti di kota-kota besar yang menjajakan jualannya dan dengan mudah ditemui. Sayangnya di Natuna, di pulau yang cukup jauh dari manapun ini, ada di tengah lautan. Jadi cukup sulit sekaligus jadi tantangan tersendiri untuk mencari bahan bacaan bagi anak didik saya. Perpustakaan pun jadi satu-satunya tempat di mana buku dengan mudahnya ditemui, jangan harap anak-anak di sini akrab dengan koran atau majalah ya karena lokasinya yang jauh ini kami cukup kesulitan mencari koran dan majalah.
***
Berkaca dari keterbatasan yang ada, saya juga melihat cara rekan-rekan guru senior lainnya menghadapi keterbatasan buku ini. Meski dengan beragam keterbatasan di daerah pulau ini, saya cukup terkejut melihat antusiasme anak-anak melahap buku-buku novel dan majalah yang saya bawa dari Jakarta waktu itu. Secara umum, dari pengalaman saya ada 3 hal yang membuat minat baca anak-anak berkembang, yaitu:
Ketersediaan buku dan bahan baca yang menarik
Anak-anak mudah tertarik terhadap suatu hal secara visual untuk “memberi makan” daya imajinasi mereka yang masih begitu luas. Untuk mengumpan imajinasi tersebut, biasanya mereka akan suka hal-hal yang menarik visual mereka. Dalam hal buku, anak-anak murid saya dulu bahkan tidak kesulitan untuk membaca buku ensiklopedia yang begitu tebal.
Apa rahasianya? Rupanya ensiklopedia sains yang dibacanya begitu berwarna dan penuh dengan gambar ilustrasi. Misalnya ketika menjelaskan asal mula dinosaurus dan hewan purba serta metamorfosisnya hingga menjadi hewan yang saat ini kita kenal, buku tersebut akan memberikan tahap-tahap metamorfosisnya dengan gambar berwarna. Setiap sudut kosong di buku penuh dengan gambar dan keterangan yang mudah dipahami oleh anak-anak. Selain warna yang bervariasi, keterangan sederhana yang mudah dicerna oleh anak, buku yang menarik pun akan semakin meningkatkan daya pikatnya jika hadir dalam bentuk 3 Dimensi alias dapat diraba atau dipegang oleh anak.
Buku yang menarik tak hanya mengasah kemampuan membaca anak, melainkan juga mengasah kemampuan berpikir dan melatih senses anak misalnya dengan visual 3D mereka paham bahwa tekstur kulit hewan, atau sekadar tahu bahwa gigi dinosaurus itu tajam dari gambar yang dapat mereka sentuh. Terkadang bacaan anak pun tak melulu saya berikan buku, ada yang bentuknya cerita bergambar, komik, atau artikel-artikel singkat dengan gambar pendamping misalnya. Meski tak jarang untuk mencari bahan bacaan tersebut saya butuh internet, padahal di Natuna khususnya di Pulau Tiga tempat saya sungguh susah sekali buat mencari sinyal internet, sudah bagus kalau bisa untuk menelepon dengan jelas. Tapi ternyata seiring berjalannya zaman, sekarang semakin mudah, nah nanti di bawah bakal saya jelaskan bagaimana caranya tetap mudah dalam memperoleh bahan bacaan yang berkualitas buat anak yang dapat menstimulasi minat baca anak.
Anak-anak tak melulu butuh buku baru, misalnya saja di sekolah kami yang waktu itu sudah beberapa tahun tidak dapat buku baru untuk pengisi perpustakaan kami. Tapi rupanya anak didik saya tidak keberatan kalau mereka harus membaca buku yang sama berulang kali karena keterbatasan bahan bacaan.
Adanya interaksi dan kebiasaan yang dibangun
Konsistensi adalah salah satu kunci keberhasilan dalam membentuk karakter seorang anak. Kalau kita ingin si anak gemar membaca tentu harus rajin dan secara berkala diberikan rangsangan. Untuk membiasakan anak-anak membaca, saya waktu itu buat ketentuan sebelum bel masuk maka anak-anak harus membaca buku 10-15 menit. Setiap hari saya bukakan pintu perpustakaan untuk mereka dan dampingi mereka membaca. Proses pendampingan dari orang dewasa ini perlu, karena di tahap inilah anak biasanya akan berinteraksi dengan kita. Mulai dari memberikan tanggapan atas buku yang dibacanya atau ia sekadar melontarkan pertanyaan atas hal yang belum dipahaminya dari bacaan tersebut. Di sinilah peran penting orang dewasa untuk membimbing rasa ingin tahu anak yang perlahan-lahan kita tanamkan pelajaran sembari mereka membaca buku.
Konsisten dengan membaca buku selama 15 menit di pagi hari sebelum mulai pelajaran, lambat laun waktu itu beberapa anak didik saya mulai rajin ke perpustakaan. Semakin hari semakin banyak yang meminjam dan membawa pulang buku-buku dari perpustakaan.
![]() |
Anak-anak perlu pendampingan juga saat membaca, karena membaca merupakan salah satu proses belajarnya. |
Punya motivasi yang kuat
Anak-anak dan punya motivasi, sepertinya 2 hal yang sulit untuk digabungkan ya? Tapi rupanya tidak juga. Anak-anak bisa punya motivasi tinggi selama orang tua atau gurunya dapat melatih mereka dengan motivasinya.
Waktu awal-awal saya wajibkan anak-anak datang ke perpustakaan sebelum bel masuk berbunyi, tentu banyak anak yang protes keberatan. Tapi begitu saya bawakan buku ke kelas-kelas, bacakan dan ceritakan sepenggal buku cerita kepada mereka, mereka tertarik. Dari situ saya ajak mereka untuk membaca buku-buku menarik yang mungkin belum mereka baca dari perpustakaan sekolah.
Setiap mereka akan masuk perpustakaan, anak-anak wajib mengisi buku hadir. Dengan begitu akan mempermudah saya untuk memperoleh data siapa yang paling rajin ke perpustakaan. Karena di satu sisi ini bukanlah sebuah pelajaran yang memerlukan daya ingat dan nalar maka saat itu saya berlakukan sistem reward untuk anak yang paling rajin hadir dan meminjam buku di perpustakaan selama 3 bulan secara berkala. Jadi tentu saja anak yang mendapat hadiah akan bergilir sesuai dengan kehadirannya.
Sistem reward yang berlaku ini tentunya semakin memicu giatnya siswa untuk berkunjung dan meminjam buku perpustakaan. Kalau dibilang efektif, sangat efektif untuk memotivasi mereka dan menjadikan kebiasaan membaca buku jadi salah satu hobi. Hadiah yang saya beri juga tidak selalu barang yang mahal, meski saya usahakan jenis hadiahnya bukan sesuatu yang dapat diperoleh di pulau agar si anak merasa punya rasa bangga jika sudah mendapat reward tersebut. Lambat laun, secara berkala sistem reward dengan hadiah itu saya hapus perlahan, bukan karena tidak mengapresiasi kebiasaan dan usaha anak-anak untuk membaca buku melainkan untuk melatih mereka tetap membaca walau tanpa diberi iming-iming hadiah. Perlahan-lahan saya lihat tidak banyak anak yang keberatan dan perpustakaan sekolah tetap ramai.
![]() |
Ikut lomba menulis dan membaca puisi di kota kabupaten, Ranai. |
Salam,
-Hanna Suryadika-
Ps: Karya ini untuk diikutkan dalam lomba menulis “Let’s Read Blog Competition: Pengalaman Pribadiku Dalam Menumbuhkan Minat Baca Anak”
2 comments
Semoga di pulau Tiga sudah ada listrik dan internet ya sekarang supaya bisa menikmati perpustakaan Lets Read
ReplyDeletesudah ada dari 5 tahun lalu kok mba Dew, cuma suka angin-anginan hilang hihi. Tahun ini sudah jauh membaik 😁
Delete