google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU BONGKAR PASANG PEMAIN | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

BONGKAR PASANG PEMAIN


Pernah dengar istilah “The Right Man in The Right Place”? 
Saya dulu pertama mendengarnya di kelas XI SMA sekitar tahun 2007 waktu mata pelajaran Manajemen. Istilah itu kurang lebih artinya menempatkan seseorang yang tepat, di tempat/posisi yang tepat. Please correct me if i’m wrong.

Jadi pembahasan hari ini awalnya tercetus saat saya tengah malam kepikiran bahwa sesungguhnya untuk mencapai kondisi ideal The Right Man in The Right Place ini butuh waktu dan jam terbang yang cukup lama. Seorang pemimpin dikatakan baik dalam memanajemen sumber daya manusianya jika sudah memenuhi poin ini. Pasalnya, tentu saja hal ini tidak langsung serta merta terwujud saat pertama ada plotting human resources. Mari kita bicara dalam skala yang lebih kecil, dimana terkait penempatan personel ini tidak diatur lagi oleh sebuah lembaga yang bernama human resources department. 
Dalam satu tim misalnya, entah saat kuliah dalam organisasi mahasiswa atau bahkan di tempat kerja profesional yang mengerucut dalam tim-tim kecil (karena kalau dalam skala besar di ranah profesional tentu sudah masuk ke HRD) kita pasti pernah menemukan hal ini. Menemukan orang yang tepat dan berkualitas diantara sekian banyak personel yang ada adalah satu misi tersendiri untuk mengeliminasi kandidat-kandidat yang tak tepat. Dalam satu tim, misalnya dalam sebuah Lembaga Pers Mahasiswa, memilih 1 orang untuk menjadi Redaktur Pelaksana tentu harus mendapatkan kandidat yang punya pengalaman dalam hal keredaksian, dunia tulis menulis, dan jurnalisme. Lantas apakah semua orang dalam lembaga pers tersebut memenuhi kriteria ini? Belum tentu. Mungkin ada yang hanya dapat menulis saja, tanpa pernah memahami jurnalisme, dan juga sebaliknya. Selanjutnya ketika kita sudah mendapatkan orang-orang yang luar biasa kualitasnya, lantas bisakah kita posisikan dia pada jabatan apapun? Inipun salah. Orang yang serbabisa, supel, dan mampu memahami apapun yang ada dalam struktur lembaga pers tersebut tentu harus mampu kita tempatkan kapasitas unggulnya tersebut dalam posisi yang tepat. Misalnya ketika dia unggul dalam semua sektor, maka Pemimpin Umum adalah posisi yang tepat untuk orang serbabisa tersebut. 

Orang yang tepat, pada posisi yang tepat ini tentu butuh pendalaman yang tidak sebentar. Bahkan terkadang perlu bongkar pasang pemain beberapa kali untuk mensimulasikan apakah dia memang orang yang terbaik dan tepat untuk posisi tersebut. 

Masalahnya seringkali kita dihadapkan pada posisi yang menuntut kita untuk serbabisa. Apapun harus bisa, harus siap, bahkan kalau tidak tahu dituntut untuk segera belajar. Dunia profesional menuntut kita untuk dinamis. Padahal kadangkala dinamis dan serbabisa itu dapat meruntuhkan dunia profesional yang butuh spesialisasi. Kan tidak semua yang sifatnya serbabisa itu bagus, bukankah akan lebih tepat jika kita meng-hire orang dengan spesialisasi tertentu untuk posisi yang spesifik. Misalnya ketika butuh copywriter mengapa tidak kita pilih orang yang punya background copywriting atau minimal dunia tulis menulis?

Hal inilah yang kadang sering kita sepelekan. Semua hal memang dapat dipelajari. Pelan- pelan dapat dipahami ditambah dengan jam terbang. Namun bukankah lebih baik jika sudah ada bibit yang matang dan siap panen yang sudah dapat diarahkan arah pertumbuhannya? Dari segi efisiensi baik waktu dan materi pun, ketika ada waktu yang terbuang untuk “mempelajari dan menambah jam terbang” ini tentu akan lebih baik jika digunakan untuk langsung nyebur dalam polemik pekerjaan yang ada di lapangan. Buat apa kita masih repot feeding bibit yang belum tahu kalau sudah tumbuh apa betul jadi pohon yang berbuah unggul seperti harapan kita.

Perihal bongkar pasang pemain ini pun seringkali saya lihat di banyak tim baik sejak masih belajar di organisasi dulu sampai saat ini di dunia profesional. Sayangnya memang tidak semua orang sesuai keinginan kita. Saya pun sebagai bawahan atau staf mungkin belum sesuai apa yang diharapkan oleh atasan saya. Demikian pula dulu waktu dipilih jadi pemimpin, ya pasti ada aja staf yang nggak cocok dengan penempatan dan juga delegasi tugas. Seringkali begitu memang. Ada banyak posisi yang harus dibongkar untuk dapat menemukan zona nyaman yang tak hanya sekadar nyaman tapi juga tepat untuk berkembang. Ada banyak pemain yang harus dicabut dan ditanam kembali untuk menemukan komposisi yang tepat demi mencetak gol.

Dulu waktu di Pers Mahasiswa saya sempat mencicipi Bidang Kaderisasi, semi HRD versi belajar-belajar dikit. Ini adalah posisi yang paling tidak terlihat mata tapi sulit! Mau nanya personality staf pasti larinya ke saya, lha yo mesti kenal semua orang dong berarti kan? Dulu waktu diskusi sama atasan saya tuh isi diskusinya ya bagaimana kita plotting bibit-bibit unggul di posisi yang tepat dan sesuai passion dan keinginannya orang itu juga. Supaya apa? Ya demi dia bisa bersinar di tempat berkembangnya dia. Kalau dia cocok, bersinar, dapat tumbuh dengan baik kan tentu saja kinerjanya akan bagus untuk organisasi secara keseluruhannya.

Apesnya, kadang tuh ya ada aja orang yang memang diharapkan oleh atasan untuk berkembang dengan terang benderang tapi dianya nggak mau maju. Sudah didorong, dimotivasi, bahkan sudah punya plot kalau si A ini mencapai target XX maka dia layak menempati posisi tertentu. Tapi ya namanya daya juang orang memang beda-beda. Selain itu satu hal yang saya pelajari, bisa aja sih kita sebagai orang atau pihak ketiga yang lihat- kok kayaknya dia nggak mau maju ya- padahal ada alasan kuat kenapa dia bisa seperti itu. Salah satu faktor terbesar yang membuat hal itu ya ketidaknyamanan dia sendiri. Entah tidak nyaman pada dirinya sendiri, tempat kerjanya, orang-orang di sekitarnya, atau faktor lainnya yang menghambat kinerjanya.

Kadang gemas-gemas gimana gitu kan kalau ketemu orang yang kita tahu kapasitas dia bisa 101% tapi yang dia hasilkan cuma mentok di 67%. Sungguh meng-encourage orang itu bukan pekerjaan yang mudah. Bahkan saya pernah gagal dulu waktu menghadapi murid-murid saya yang SD, padahal semudah mengajak mereka ikut lomba yang peluang menangnya besar dan hadiahnya ya buat mereka sendiri nantinya. Tapi gagal aja gitu menyemangati dia untuk melawan rasa malas dan malunya untuk berjuang. Saya suka patah hati dan gemas sendiri kalau sudah begini. Padahal mah saya nggak menutup mata kalau mungkin banget saya pernah begini, bekerja di luar target yang diharapkan orang-orang. Tapi saya sebisa mungkin, saya bilang di awal kalau saya nggak mau atau nggak bisa melakukan satu pekerjaan itu karena A/B/C.

Intinya, kita memang tidak dapat menyenangkan semua orang jadi kalau ada orang sudah set ekspektasi dia ke kamu apalagi menempatkanmu dalam sebuah tim, sebisa mungkin berusahalah untuk menyelesaikan misimu. Jangan tiba-tiba di tengah jalan kehilangan daya juang, oleng, dan tiba-tiba malah memberatkan anggota tim lainnya. Kedua, alih-alih menjadi beban yang terlihat jelas dalam sebuah tim, mengapa tidak mulai menawarkan bantuan, “Mmm... aku kurang tahu nih tenagaku bisa berfungsi di mana, jadi kira-kira aku bisa bantu apa ya buat acara nanti?”
Ketiga, menjadi spesialis itu penting. Ketahui apa goal kamu, apa yang kamu inginkan dan kuasai, serta apa yang dibutuhkan tim. In my humble opinion, kalau memang kapasitas kita ada di tengah-tengah alias moderat ya mengapa tidak kita ambil sebagian waktu untuk mendalami sebuah keahlian? Atau ya minimal mencoba bahu membahu dengan personil lainnya untuk menyelesaikan satu misi ketimbang hanya berpangku tangan dan menyesali keadaan.

Jadi sekian unek-unek dari saya yang tiba-tiba kilas balik mulai dari tahun-tahun awal saya kecemplung di dunia kerja internship, paruh waktu, lepas waktu, sampai profesional.

Btw buat teman-teman yang mau berdiskusi, saya terbuka sekali di kolom komentar. Tentang apapun itu, karena ini sejujurnya bukan keahlian saya memang tapi saya mengambil pengalaman dari apa yang sudah dan sedang saya hadapi. Jadi feel free to share your own story below ya!

See you!
HS

0 comments