google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU Telaga Bening dalam Jiwamu | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

Telaga Bening dalam Jiwamu

Kutemui dirinya waktu itu, masih diam rupanya.
Kuguncang bahunya, ia bergeming.
Tatapannya kosong, rupanya jiwanya sedang tak disana.
Lantas di tanah di sebelahnya kurebahkan diriku.
Kupandang birunya langit diatasku, kulayangkan pikiranku.
Nafasmu berat, kadang terengah, memburu.
Tapi kau tak mengalihkan pandangan ke arahku.
Kubiarkan saja bahumu itu terguncang- guncang kecil selama tak ada tangismu.
Kulempar desahan nafas panjang ke udara di sekitarku.
Kalau kau dengar, itu bukti rasa bosanku pada pikiranmu.
Katanya pada diriku: kenapa tak kau buang beban pikiranmu pada luasnya udara di sekelilingmu?
Kau bisa sibuk bercerita pada udara melalui nafasmu yang berdengus, bisa pula menumpahkan pikiranmu pada awan di langit dalam renunganmu siang ini.

Entah apa yang kau pikirkan.
Tapi rupanya ini bukan sekali- kalinya kau hanya diam, pergi ke tanah lapang ini.
Rumput itu buktinya, sudah menjejak bekas kaki mungilmu disana.
Tanah disampingmu, malah sering kau tarik rumputnya, hingga enggan ia tumbuh di bagian itu.
Dan kesekian kalinya pula kau hanya menumpahkan pikiranmu pada dirimu sendiri.
Kau kembali memburu nafasmu, berat rimanya, tak nikmat didengar.
Matamu melayang, jauh kau lempar ke hamparan rumput hijau disana.

Hingga hari ini, terhitung sudah puluhan kali kudampingi lamunanmu di tengah tanah ini.
Rupanya kau masih tak mau membuka bicara.
Kau katupkan bibir mungilmu, kau simpan rapat- rapat keluh hatimu dariku.
Di tempat yang sama untuk ke-63 harinya.
Orang di desa ini bahkan selalu memperhatikanmu dari kejauhan.
Kata mereka, kau tak dikenalnya dengan baik, jadi mereka biarkan kau menyendiri di tanah seluas ini.

Dan disinilah kau duduk, menanti kembalinya indukmu dari pencariannya akan penghidupan.

Mari kuberitahukan padamu, nak.
Dia takkan kembali, meski amat besar kasihnya padamu.
Ia lupa jalan pulang, lika- liku kota rupanya telah membuat pikirannya bertambah rumit.
Kemarin lusa, kudengar ia dipukuli orang- orang disana, sampai hampir habis nafasnya.

Kuakhiri narasi singkatku, kembali kutinggalkan dirimu.
Kali ni kau tak sendiri, kulihat beningnya air yang mengalir dari kedua ujung matamu, malah semakin deras tiap kulangkahkan kakiku.
Menjauh darimu....

0 comments