Kemarin Jakarta menyentuh suhu 25˚ C saat siang hari. Tak pernah- pernahnya dalam setahun ini sebegitu dingin.
Hari itu diawali dengan wan mendung yang masih menggelayut manja. Bahkan waktu baru memulai ritme pacunya dengan manusia ibukota yang bergegas sejak mentari belum tampak.
Atau hari itu memang tak pernah tampak dari kota kami yang selalu sibuk.
Dingin ini sudah lama tak pernah menyergap dalam bulan- bulan sebelumnya, cenderung kering. Kami, manusia di kota ini mungkin sudah mulai rindu pada lembabnya pagi, segarnya udara, dan basahnya tanah- tanah di kaki kami.
Biasanya debu asap kendaraan, terik matahari, serta ribuan partikel polusi berebutan menjejali paru- paru kami. Hari itu, bukannya tidak, tapi sisa hujan malam sebelumnya setidaknya mengurangi itu semua.
Barangkali rindu memang menyimpan sendu
Barangkali rindu itu pula jark terjauh sekaligus terdekat kita
Kita tak pernah memanjat harap yang sama sebelumnya
Sejak rindu itu ada
Ia mulai mengusik malam-malam tenang
Barangkali rindu adalah waktu terdekat kita
Saat kita saling mendoakan dan peduli satu sama lain
Rindu pula yang mungkin menjadi mistar pemisah kita
Ia yang mengingatkan kita bahwa rasa ini takkan pernah melangkah kemanapun
Oleh: Hanna Suryadika
Lembar hitam dalam diriku perlahan mengelupas. Tersingkir karena cerahnya musim panas yang kembali menyegarkan jiwaku. Dulu mungkin aku tak berpunya nyawa, tapi kini aku bertekad kembali merebut jiwaku yang telah lama kutanggalkan.
Arogansi jiwa mudaku, pernah meninggalkan semua hartaku, menyerahkannnya pada pangkuan sang masa. Kini kutahbiskan diriku sendiri sebagai jiwa baru, hendak berlari mengejar asa meraih mimpi. Aku seakan terlahir kembali, tapi tak dari rahim ibuku.
"Rania mau pergi. Menjelajah setiap sudut kota kemana hatiku memanggil" demikian ujarku pada Ibu saat mengucapkan niatku pertama kali. Ibu, barangkali dia hendak melihatku berubah lebih baik, atau malah sudah bingung akan jalan pikiranku, mempersilahkan apapun langkah yang kupilih dalam hidup.
Pergi, pindah, lalu pulang.
Ketiganya adalah satu.
Semuanya terjadi dalam siklus hidup yang kita jalani.
Semua orang pernah merasakannya.
Pergi.
Kita telah melewati ribuan kali peristiwa kepergian ini.
Pergi adalah kegiatan dalam pencarian jati diri, dimanapun dan kapanpun.
Kau bisa pergi kemanapun yang kau suka.
Setiap tempat, awalnya memmang terlihat sebagai sebuah tujuan pergi yang enak.
Tapi kemudian kita tahu, tidak semuanya begitu.
Ini cerita tentang kisah cinta indah yang ingin pindah.
Awalnya tak ada yang salah dengan semua yang terjadi.
Semua orang menginginkan wujud dan rupa kedua mempelai.
Sang wanita itu lembut dan lemah gemulai.
Sementara si lelaki supel dan itikad baiknya selalu di hati.
Kedua anak manusia itu bersatu.
Berubah rupa menjadi wujud idaman semua orang.
Keduanya saling melengkapi, selalu bersama dalam tiap waktu.
Kemanapun mereka melangkah, kami melihatnya selalu riang.
Suatu hari yang tak berbeda bagi kami, masih di salah satu hari di musim kemarau.
Sang wanita datang ke warung kopi kami, bercerita dengan lirih dan parau.
Ia mulai membeberkan kisah kasihnya yang kacau.
Ia, katanya, memang selalu bahagia di awal jumpanya.
Demikian pun sang lelaki, mereka mengaku tak kekurangan suatu pun, meski tak berpunya.
Berdua, hanya berdua lah mereka yakin bisa meraih bahagia di dunia.
Maka, bertapalah mereka, mencari makna hidupnya.
Sepulang dari perjalanan itu, mereka hening, diam dan kering.
Mereka sunyi, memandang pantulan diri masing-masing.
Mereka berkaca pada air yang bening.
Menemukan banyak tanda tanya dalam parut di kening.
Si lelaki membuka bicara, memecahkan hening.
"Ternyata bahagia pun tak cukup" ujarnya sembari meremas kepalanya yang tak pening.
"Aku belum menemukan makna hidupku denganmu" lanjutnya, si wanita hanya diam sesekali mengerling.
Dan begitulah berakhir kisah mereka.
Sang wanita mengizinkan lelakinya pergi mengembara.
Sementara ia masih sendiri merana.
Ia selalu ingat kata-kata terakhir lelakinya:
"Kisah kita indah, tapi aku ingin pindah"
"Indah saja tak cukup, apalagi hanya di tempat yang sama"
"Biarkan aku saja yang pindah, sementara kau disini bertahan"
"Kan kutemui kasih yang baru, yang siap kuajak pindah kemana pun"
Wanita itu pun kini menghilang tak tahu dimana rimbanya.
Terakhir kutemui ia di batas kota.
Ia mengemas seluruh serpihan hatinya.
Membawa segala rupa kenangannya yang lalu.
Saat kutanya tujuannya, ia jawab mantap: "Aku ingin pindah"
-hanna siahaan-
Pindah itu perkara kesiapan.
Siap bergerak ke tempat lain, melepaskan kaki dari tempat berpijak saat ini.
Siap berkemas, membawa kenangan yang tertinggal. Siap menahan sakit, menahan rasa yang tersisa, yang maasih belum rela untuk ditanggalkan.
Siap beradaptasi, meski belum tahu medan apa yang kan dihadapi di depan.