google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU Ketika Wanita Menangis | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

Ketika Wanita Menangis


“Ketika wanita menangis,
Itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya, melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya, Melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu lagi membendung air matanya.
Ketika wanita menangis,
Itu bukan karena dia ingin terlihat lemah, melainkan karena dia sudah tidak sanggup berpura- pura kuat.”
(Windhy Puspitadewi dalam “Let Go”)

Sederet kalimat diatas saya temukan di sebuah novel yang baru saja selesai saya baca. Ketika membaca dan menghayati kata per kata, saya tersenyum. Sungguh, saya merasa ini bukanlah sebuah pembelaan dari para wanita, tapi saya setuju dengan petikan kalimat- kalimat di atas.
Tangisan wanita ada bukan karena mereka memang makhluk yang selalu “berpikir dengan hatinya” tetapi terkadang tangisan air mata mereka adalah sederet ungkapan kata dan rasa yang tidak mampu mereka ungkapkan kepada dunia. Bukan kejujuran yang ingin dilanggar para wanita, tapi terkadang ada kalanya tidak ada kata yang terbaik yang bisa diucapkan di saat- saat terberat di dalam hidup ini. Ada kalanya jika belum tiba waktunya, wanita enggan berucap mengenai apa beban hidupnya.

“TANGISAN ADALAH LUAPAN EMOSI JIWA YANG TERDALAM”
Saya yakin tidak ada seorang pun yang ingin terlihat lemah dengan air matanya. Tidak ada seorang pun yang ingin orang lain melihatnya meneteskan air mata. Air mata bukanlah simbol  dari kelemahan. Ada kalanya air mata yang tercurah merupakan lambang ketegaran mereka selama ini. Ya, ketegaran. Selama ini mereka hanya mampu memendam amarah, kekecewaan, kepedihan (mungkin), yang tidak pernah terucap dari bibirnya.
Yang saya tahu dari para wanita (karena saya pun salah satu dari mereka ), terkadang hati dan bibirnya tak bekerja seirama. Semakin kencang bibirnya mengucapkan kata “tidak”, maka sesungguhnya semakin kuat pula hatinya berteriak “iya”, dan sebaliknya. Saya pernah membaca kalimat ini (maaf, lupa darimana) : Ketika seorang wanita berkata “everything’s alright” tidak berarti everything's fine.
Mereka berusaha sedapat mungkin menyimpan rapat-rapat masalahnya dan kalau bisa menyelesaikannya sendiri. Atau yang paling sederhana, mereka enggan untuk mengutarakan niat, dan hanya berharap saja kalau lawan bicaranya dapat mengerti apa yang mereka inginkan. Serta bersikap seolah-olah kepala mereka transparan dan isi pikiran mereka dapat terbaca dengan begitu mudahnya.
Terkadang, saya mengamati ada benarnya juga kalimat :”Menangis itu sehat” (thanks for Gita for her own words). Ternyata, bukan hanya tertawa saja yang menyehatkan, melainkan juga sebuah tangisan. Kenapa ? Dengan menangis, beban yang ada di dalam hati akan banyak berkurang. Segala kekecewaan juga akan berkurang sedikit seiring dengan luruhnya air mata. Ingat, bedanya menangis dengan curhat hanya ada pada jumlah nya saja. Jumlah kata dan jumlah air mata yang keluar J.
Dan disini, saya cuma ingin membuka mata kalian (wahai para wanita) , tidak ada salahnya sih menangis. “Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari”
Jikalau banyak hal di dunia ini yang telah mengecewakanmu, tidak sesuai harapanmu, bahkan menyakiti mu terlalu dalam, menangislah !

Dariku yang sedang tak menangis,
Hanna Siahaan

0 comments