“Ketika wanita menangis,
Itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya, melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya.
Ketika wanita menangis,
itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya, Melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu lagi membendung air matanya.
Ketika wanita menangis,
Itu bukan karena dia ingin terlihat lemah, melainkan karena dia sudah tidak sanggup berpura- pura kuat.”
(Windhy Puspitadewi dalam “Let Go”)
Sederet kalimat diatas saya temukan di
sebuah novel yang baru saja selesai saya baca. Ketika membaca dan menghayati
kata per kata, saya tersenyum. Sungguh, saya merasa ini bukanlah sebuah
pembelaan dari para wanita, tapi saya setuju dengan petikan kalimat- kalimat di
atas.
Tangisan wanita ada bukan karena mereka
memang makhluk yang selalu “berpikir dengan hatinya” tetapi terkadang tangisan
air mata mereka adalah sederet ungkapan kata dan rasa yang tidak mampu mereka
ungkapkan kepada dunia. Bukan kejujuran yang ingin dilanggar para wanita, tapi
terkadang ada kalanya tidak ada kata yang terbaik yang bisa diucapkan di saat-
saat terberat di dalam hidup ini. Ada kalanya jika belum tiba waktunya, wanita
enggan berucap mengenai apa beban hidupnya.
“TANGISAN ADALAH LUAPAN EMOSI JIWA YANG TERDALAM”
Saya yakin tidak ada seorang pun yang ingin
terlihat lemah dengan air matanya. Tidak ada seorang pun yang ingin orang lain
melihatnya meneteskan air mata. Air mata bukanlah simbol dari kelemahan. Ada kalanya air mata yang
tercurah merupakan lambang ketegaran mereka selama ini. Ya, ketegaran. Selama
ini mereka hanya mampu memendam amarah, kekecewaan, kepedihan (mungkin), yang
tidak pernah terucap dari bibirnya.
Yang saya tahu dari para wanita (karena
saya pun salah satu dari mereka ), terkadang hati dan bibirnya tak bekerja
seirama. Semakin kencang bibirnya mengucapkan kata “tidak”, maka sesungguhnya
semakin kuat pula hatinya berteriak “iya”, dan sebaliknya. Saya pernah membaca
kalimat ini (maaf, lupa darimana) : Ketika seorang wanita berkata “everything’s alright” tidak berarti everything's fine.
Mereka berusaha sedapat mungkin menyimpan
rapat-rapat masalahnya dan kalau bisa menyelesaikannya sendiri. Atau yang
paling sederhana, mereka enggan untuk mengutarakan niat, dan hanya berharap
saja kalau lawan bicaranya dapat mengerti apa yang mereka inginkan. Serta
bersikap seolah-olah kepala mereka transparan dan isi pikiran mereka dapat
terbaca dengan begitu mudahnya.
Terkadang, saya mengamati ada benarnya juga
kalimat :”Menangis itu sehat” (thanks for Gita for her own words). Ternyata,
bukan hanya tertawa saja yang menyehatkan, melainkan juga sebuah tangisan.
Kenapa ? Dengan menangis, beban yang ada di dalam hati akan banyak berkurang.
Segala kekecewaan juga akan berkurang sedikit seiring dengan luruhnya air mata.
Ingat, bedanya menangis dengan curhat hanya ada pada jumlah nya saja. Jumlah
kata dan jumlah air mata yang keluar J.
Dan disini, saya cuma ingin membuka mata
kalian (wahai para wanita) , tidak ada salahnya sih menangis. “Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk
tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari”
Jikalau banyak hal di dunia ini yang telah
mengecewakanmu, tidak sesuai harapanmu, bahkan menyakiti mu terlalu dalam,
menangislah !
Dariku yang sedang tak
menangis,
Hanna Siahaan
0 comments