google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU Kepergian Tulang | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

Kepergian Tulang

Setelah di postingan sebelumnya saya menceritakan tentang meninggalnya Tulang saya, Jules Eriston Siagian, Senin 8 September lalu, kini saya mau cerita tentang hal serupa.
Tulang saya ini merupakan adik bungsu dari mama, beliau menutup usianya di angka 47 tahunm dengan meninggalkan seorang istri dan seorang anak laki-laki, namanya Fernanda. Karena sudah punya anak, kami memanggilnya tulang Nanda.

Senin dini hari, pukul 00.30 tulang meninggal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dan langsung dibawa ke Rumah Duka Rumah Sakit PGI Cikini. Kenapa ke rumah duka? Belakangan kan rumah duka sudah mulai umum dipakai oleh banyak orang. Nah kalau kami memutuskan pakai rumah duka karena memang rumah tulang jauh sekali, ada di Cakung. Rumah yang jauh bisa bikin para pelayat nanti sedikit yang datang, padahal buat orang Batak, semakin banyak orang yang datang ke acara pemakaman ini selayaknya sebagai sebuah penghiburan bagi kami yang berduka.
RS PGI Cikini kami rasa cukup dekat dan mudah diakses dengan apapun dan letaknya memang di tengah kota. Dulu, penggunaan rumah duka memang identik dengan orang yang kurang mampu, dengan rumah dan halaman yang kecil memang sulit kan untuk mengadakan acara kedukaan. Namun sekarang fungsi rumah duka dirasa sudah lebih memudahkan siapapun yang ingin mengurus acara kematian keluarganya.

Jadi begitu urusan tempat yang di rumah duka selesai, kami bisa mengurus hal lainnya seperti pemberitahuan kematian  ke kerabat dan keluarga besar, catering, dan acara adat Batak. Saya baru sampai di rumah duka Cikini Selasa, 9 September pukul 7 pagi. Hari Senin pagi sebenarnya sudah ada yang datang melayat kepergian tulang, tapi acara utamanya baru hari Selasa ini. Pagi itu, kami  mulai acara dengan keluarga dekat, kebaktian kedukaan yang dipimpin oleh Tulang Erwin, anak laki- laki paling besar dari keluarga mama. Berhubung Opung Doli dan Opung Boru saya sudah almarhum keduanya, maka sekarang semua tanggung jawab keluarga dan pemimpinnya bergeser ke tangan tulang Erwin. Di acara kebaktian ini sederhana aja sebenernya, intinya hanya berdoa, bernyanyi lagu gereja, dan menyampaikan kalimat perpisahan untuk kepergian tulang Nanda. Tapi yang sepertinya sederhana itu tak selalu mudah untuk dilakukan. Nyatanya pas saya mau mengucapkan kalimat perpisahan itu susaaah banget, antara nahan degup jantung, nahan tangis, gemeteran banget pokoknya, apalagi satu ruangan itu aura kedukaan dan sedihnya kentara banget. Begitu acara dimulai aja, pas piano baru masuk intro untuk memainkan nada lagu gereja, itu langsung pecah tangis semuanya, kecuali Nanda, dia cuma bengong menerawang melihat jenazah bapaknya yang sekarang sudah terbaring kaku.

Sepanjang acara Nanda memang diam aja, ngga nangis, tapi menerawang jauh memikirkan banyak hal sepertinya. Tulang Nanda adalah anak ke 8 dari 8 bersaudara, dan memang kepergiannya berhasil mengumpulkan ke 7 saudaranya yang ada di Jakarta, Bekasi, Medan, Balige untuk melepas kepergiannya. Satu persatu kami mengucapkan selamat jalan, kalimat perpisahan dan kedukaan kami masing- masing. Semuanya pecah tangisnya di awal membuka mulut, sedih luar biasa. Gimana ngga sedih, ketika tulang ini yang paling bontot, tapi dia pergi mendahului ke tujuh saudaranya yang lain. Semua keluarga kami pun berujar hal yang sama, anak terakhir yang pergi lebihdulu ini benar- benar membuat semua duka bertumpuk. Usianya pun jauh lebih muda dari saudara- saudaranya, ibaratnya kepergiannya ini satu hal yang mengejutkan. Saya paling sedih ketika ingat momen saatnya Nanda mengucapkan kalimat perpisahan untuk bapaknya, ngga kedengeran, pelan sekali, tapi sayup- sayup saya paham perkataannya. Sambil meneteskan air mata pelan, dia berucap lirih: " Pak, Nanda nggak nyangka Bapak pergi secepat ini...." cuma itu kalimat yang saya dengar, kalimat itu pula yang bikin akhirnya pertahanan Nanda untuk ngga nangis akhirnya jebol, dia nangis, dan diam lagi. Sedih sekali rasanya lihat momen itu. Tahun ini Nanda menginjak umur 18 tahun, baru masuk 1 minggu di kampus barunya sebagai mahasiswa baru, wajar begitu banyak hal yang ia tidak dapat bayangkan tanpa ayahnya.

Setelah itu, saya mengurus catering dan hal- hal lainnya. Siang harinya banyak anggota keluarga lainnya yang datang, begitu selesai kebaktian keluarga. Dan jam 11 siang dimulai lah acara adat. Semua tamu yang melayat datang berurutan sesuai urutannya, sesuai marga dan posisinya.
Acara adat ini berbalur banyak tangis dan ratapan, berulang kali hati saya bergetar melihat pemandangan ini, berusaha menahan tangis namun juga beberapa kali pertahanan itu luruh, wajah saya banjir air mata, terlalu sedih. Tulangku ini sebelumnya tidak pernah sakit, barulah sekitar 2 minggu sebelum kepergiannya, ia tiba- tiba sakit sampai tidak bisa bangkit dari tidur, dirawat di rumah sakit kecil selama beberapa hari, kemudian dirawat rumah selama 3 hari sampai akhirnya dilarikan lagi ke IGD RSCM dan disitulah sebelum hasil lab nya keluar, ternyata ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Jam 3, setelah acara adat selesai, dan dilanjut dengan kebaktian dari gereja HKBP Suprapto. Selepas ibadah, ada acara tutup peti. Disinilah saat terakhir kami semua melihat wajah almarhum untuk terakhir kalinya. Saya mengelilingi peti mati yang masih terbuka, meski tidak melihat wajahnya secara jelas (sengaja saya hindari, karena takut menangis lagi) tapi saya yakin wajah Tulang ini sudah kuingat. Setelah itu, kami berangkat ke TPU Pondok Ranggon. Selama satu jam perjalanan, saya mencoba untuk tidur tapi nggak bisa. Padahal sudah seharian nggak tidur, sejak di kereta dari Solo pun saya belum tidur, dan hampir seharian terjaga, menangis, bolak- balik mengurus ini itu sepertinya benar- benar menguras tenaga saya.

Soal pemakaman, ternyata sudah diurus oleh pihak rumah duka RS PGI Cikini. Dan RS PGI Cikini pun menyediakan beberapa opsi fotografer dan videografer. Peti mati, ambulance, dan petak tanah kuburan pun semuanaya sudah diurus dari Yayasan Baitani punya RS PGI Cikini. Sesampainya di TPU Pondok Ranggon, yang baru pertama kali saya singgahi, saya cukup kaget juga pas liat betapa luasnya komplek pemakaman ini. Dan Tulang Nanda pun dapat kavling yang sepertinya masih baru satu blok nya. Benar- benar baru, bahkan saya lihat di sekelilingnya masih ada yang berupa gundukan tanah dengan salib- salib yang masih belum permanen, masih dari kayu sederhana.
Kavling baru di Pondok Ranggon,masih belum terurus dan belum rapi.

Proses pemakaman dan penguburan peti jenazah

Dan akhirnya berakhirlah masa kami mengantar kepergian Tulang Nanda. Sampai di Pondok Ranggon, kami memulai kebaktian untuk pemakaman. Setelah dimakamkan, kami menebar bunga, dan berdoa bersama disana. Sedih tapi sekarang kami semua sudah lebih tenang dan ikhlas atas kepergiannya.

Selesai pemakaman, tidak berarti acara selesai. Masih ada acara keluarga yang memang harus dilakukan seperti keluarga Batak lainnya. Acara keluarga ini hanya dihadiri oleh keluarga Siagian. Biasanya acara sesudah pemakaman ini membahas soal peninggalan dan harta yang ditinggalkan oleh almarhum. Bukan berarti orang Batak matre, tapi justru kami langsung mengurus hal ini karena kalau tidak dirundingkan takutnya ada hal - hal yang malah kemudian jadi masalah selanjutnya. Biasanya pertemuan ini bahas berapa besar pengeluaran untuk pemakaman (bisa juga mulai sejak dari rumah sakit, tergantung kesepakatan keluarga). Pengeluaran ini nantinya akan didiskusikan keluarga berapa besar sumbangan yang akan dikeluarkan untuk membantu keluarga almarhum supaya tidak terbebani biaya itu. Selanjutnya dibahas pula soal keperluan keluarga seperti biaya sekolah/ kuliah anak yang ditinggalkan atau status kepemilikan sejumlah barang atau harta tak bergerak.

Kepergian seseorang memang semata tak harus dilihat dari segi kepedihan semata. Tapi dari acara duka kemarin, saya belajar satu hal: keluarga besar kami semakin akrab. Tadinya memang sempat ada jarak karena mungkin ada perselisihan kecil atau memang karena jarang bertemu akibat jarak yang memisahkan. Namun sejak kepergian salah seorang anggota keluarga ini, koordinasi  dan komunikasi seluruh keluarga besar kami semakin erat.

Jadi, bagaimana kalian menilai sebuah kepergian?

-HS-




0 comments