google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU Setahun di Natuna (part 1) | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

Setahun di Natuna (part 1)

"Gimana rasanya setahun di Natuna?"
"Anak - anak di sana seperti apa sih?"
"Seperti apa tanggapan warga sana waktu pertama kamu datang?"
"Hal apa yang paling berkesan selama di Natuna?"

Yak dan masih banyak list pertanyaan lainnya yang sering ditanyakan semenjak pulang dan bertemu dengan keluarga maupun teman- teman. Jadi sejujurnya sampai hari ini saya belum buat postingan blog ataupun Instagram yang merangkum satu tahun perjalanan saya. Kalau video sudah pernah saya buat, tapi hanya untuk sekadar ditampilkan pada waktu hari perpisahan saya di desa Setumuk. Dan belum diupload di Youtube karena masih terlalu baper dan ngga pede aja sama kualitas videonya haha.

Well, kali ini mari izinkan saya bercerita sekelumit cerita tentang Natuna. Sekadar pengingat waktu buat saya sendiri bahwa sebagian jiwa saya masih tertinggal di sana dengan kenangan sangat baik, setahun paling berharga kalau katanya Indonesia Mengajar sih. Syukur- syukur bisa menjadi inspirasi buat temen- temen yang membacanya.

Foto teman- teman PM Natuna dengan mak angkat saya! Love!
Kali ini saya bakal cerita dengan point per point aja ya supaya ga missed dan saya bisa inget alurnya. Tulisan tentang Natuna akan saya pisah menjadi beberapa bagian. Ini bagian satu, untuk bagian dua bisa klik link ini.

1. Natuna, sosial dan geografisnya
Secara singkat, profil Kabupaten Natuna, penempatan saya, pernah dijabarkan di web Indonesia Mengajar. Jadi pertama saya datang ke Natuna, bayangan saya itu adalah sebuah pulau kecil di  utara Indonesia. Coba cari peta Indonesia dan temukan Natuna, sulit. Sulitnya karena terkadang kecil banget di peta, ya memang tergantung skala ya, kadang kalo skalanya kecil ya suka ga masuk peta juga hehe. Jadi pertama kami tiba kami melakukan perjalanan udara dengan rute Jakarta- Batam- Natuna. Total perjalanan kurang lebih 7 jam, udah sama waktu transitnya -/+ 3 jam, berarti perjalanan 3 jam lebih. Btw, meski masih di wilayah Sumatera tapi tiket Natuna itu susah didapetinnya dan mahal harganya. Sekitar 2 sampai 3 jutaan bersihnya untuk bisa sampai di Ranai, ibukota kabupaten Natuna.
Selanjutnya saya masih perlu menempuh beberapa jam lagi perjalanan jalur darat dan laut untuk bisa tiba di desa saya bertugas, Setumuk. Saya pernah cerita perjalanannya di sini dan pernah buat video perjalanan seadanya juga. Disclaimer: mohon maap, video seadanya ga punya stabilizer jadi goyang- goyang shaking haha.

Natuna itu terdiri dari apa saja? Natuna bisa kamu lihat seperti peta di bawah ini. Terdiri dari satu pulau Bunguran; pulau yang besar itu dan 272 pulau kecil lainnya di sekelilingnya. Whoaa banyak yaa! Serius baru tau kalo Natuna ternyata punya pulau sampe sebanyak 200an lebih gitu.

Peta Natuna, credit from here

Lanjut ke kondisi sosialnya ya! Jadi kalau di Natuna mayoritas adalah Muslim Melayu. Bahasa yang dipakai sehari- hari adalah bahasa Melayu tapi khas Natuna. Beda dengan bahasa Melayu yang ada di Medan, atau Malaysia. Waktu pertama kali saya sampai di Natuna malah saya dengar logat mereka sangat terasa Thailand sekali, padahal menurut mereka logatnya lebih cenderung mirip bahasa Vietnam. Yah saya sih ga bisa bandingin dengan Vietnam karena belum pernah denger bahasa mereka. Tapi jangan salah, bahasa Natuna pun ga seragam semua, beda bahasa yang di Pulau Bunguran, Pulau Tiga, Pulau Midai, dan Pulau Serasan- Subi. Selain beda di logat misalnya di Bunguran banyak pakai huruf 'e' sementara di Pulau Tiga pakai akhiran 'o', ada beberapa bahasa yang beda antar satu pulau dan pulau lainnya di Natuna. Tapi selama ini sepertinya semua saling memahami sih kalau mereka bertemu satu sama lainnya.
Nah yuk mari highlight hal yang uniknya. Baju kurung adalah salah satu hal yang wajib digunakan tiap acara adat ataupun acara resmi di Natuna. Acara resmi itu misalnya acara adat, kondangan, pengajian, tahlilan atau saat kematian, acara menyambut kelahiran, atau acara dari dinas atau pemerintahan.

Ini adalah contoh baju kurung untuk pria.
Di foto ini adalah Yoga Febrianto, foto diambil saat Festival Anak Natuna 2017.
Kalau ini contoh foto baju kurung. Btw ini foto sama ibu- ibu desa Setumuk waktu Lebaran.
Nah masih soal kehidupan sosialnya, masyarakat Natuna itu terkenal ramah dan baik banget sama pendatang atau orang baru gitu. Jadi saking ramahnya ini, mereka juga mudah akrab dan bisa ngobrol panjang lebar dengan orang yang baru dikenal. Suka cerita gitu deh intinya, asal lawan bicaranya juga tektokannya asik sih ya. Kegiatan sehari- hari warga desa Setumuk biasanya ya berkebun dan mancing ikan, sejalan dengan pekerjaan mayoritas warganya yaitu jadi petani dan nelayan, selebihnya adalah ibu rumah tangga, atau pekerja sektor formal misalnya guru atau pegawai kantor desa/ kecamatan. Mayoritas memang yang bekerja adalah sang pria, sementar istrinya biasanya mengurus kebutuhan rumah tangga tapi kadang sambil ngurus kebun juga sih kalau memang punya kebun. Kebunnya isi apa aja? Ini yang paling heboh sih yang berkebun cengkeh, karena kalau lagi musim panen raya bisa dapet hasil sekitar Rp.100 juta per kepala keluarga. Asli deh! Selain cengkeh, ada durian juga (my love!), buah- buahan lainnya pun ada. Satu lagi, kalau jadi nelayan maka ikan yang paling sering mereka dapatkan adalah ikan tongkol, ikan yang paling banyak ada di Natuna; biasanya mereka menyebutnya ikan simbok.

Setahun di Natuna, udah nyobain banyak jenis- jenis ikan yang ada di sana. Seringnya sih makan ikan simbok, tapi favorit saya ikan manyuk! Duh ga paham jelasin ini ikan jenis apa karena saya ga paham bedanya cuma tau rasanya aja yang gurih dan cocok mau dipanggang ataupun digoreng. Sama ikan karang pun saya suka sebenernya, cuma kalau kata Dita, salah seorang temen PM Natuna, makan ikan karang itu juga ga bagus sering- sering karena ikan karang kan juga menjaga ekosistem karang yang ada.




Yak dua foto di atas adalah bukti bahwa menjadi dekil dan kumal karena gosong adalah nikmat apalagi kalo abis mancing di laut. Foto diambil Oktober 2017 di Serasan, Natuna.


Setiap hari udah pasti makan ikan atau cumi- cumi deh kalau lagi ngga ada ikan. Duh bahagia banget, sampe- sampe berat badan jadi naik 7 kiloan selama di Setumuk. Yang biasanya doyan banget makan cumi eh sekarang sampe bosen loh saking sepuasnya banget makan cumi di Natuna. Nanti akan saya buatkan tersendiri mungkin ya untuk post tentang makanan khas Natuna dan segala seafoodnya kalau memang dokumentasinya mencukupi.

Oke balik lagi ke kondisi sosialnya. Jadi karena orang Natuna itu sukanya kumpul- kumpul dan ngobrol, orang- orang di desa saya tiap sore pun suka tuh nongkrong di depan rumah atau di pusat keramaian (ala desa ya bukan kayak warung- warung kopi gitu bahkan, cuma yah tempat warga ngumpul aja di bawah pohon atau teras rumah siapa). Selain nongkrong, biasanya mereka suka berolahraga. Apa sih olahraga favoritnya? Ada sepak bola, biasanya yang main pemuda- pemuda gitu (aseek) atau bapak- bapak. Ada juga yang main voli (ini semua kalangan dan gender pasti main, voli itu populer se Natuna, bok!). Selain itu masih ada sepak takraw dan bulu tangkis yang jadi olahraga favorit musiman warga desa saya, tapi 2 ini biasanya yang mainin ya anak- anak sekolah SD- SMA gitu.


Selanjutnya, poin tentang sekolah, anak- anak, teman- teman PM Natuna, dan penggerak lokal akan saya tampilkan di post berbeda ya, supaya bacanya enak ga kepanjangan. Maklum namanya juga cerita setahun jadi pasti puanjaang. Bonus sebelum penutupnya saya akasih dua foto ini aja yaa:

Foto sama anak- anak murid di SDN 003 Setumuk 

Rapat Guru dengan orang tua siswa

Update: Part 2 akhirnya sudah selesai ditulis. Selengkapnya dapat dibaca di sini 

See you!
HS

2 comments