Malam- malam pekat ini selalu turun di antara kita.
Saat saya tak mampu terlelap, namun di sana kaupun tak mampu tuk terjaga.
Sebelumnya maafkan banyak ketidakjujuran yang telah terjadi selama ini.
Yang kutahu kini semuanya telah membaik dan menjadi sebuah hal lumrah.
Apa kabarmu di sana?
Masih belum terbiasakah dirimu dengan kehangatan yang ditawarkan masyarakat sana?
Tidak lebih ramahkah mereka daripada kami yang di Indonesia ini? Itu dulu alasanmu untuk tidak meninggalkan tanah air, yang nyatanya malah kau lepas begitu saja begitu remuk hatimu.
Tenang, hidupku pun berantakan, terlebih hati sejak pertengkaran rutin itu.
Tapi bohong bila saya sekarang telah mampu melupakan semuanya.
Dulu kau bilang rumahmu adalah tempat ternyaman tuk menghabiskan usia. Buktinya kau tinggalkan pula saat kisah kita kandas. Untuk menghindari perjumpaan denganku? Tak perlu bertanya bagaimana saya bisa tahu, 5 tahun sudah cukup untuk sekadar membaca pola pikirmu.
Dulu, saya adalah kamu, dan kamu ada di diriku. Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah.
Setelah tidak menjalani hari bersamamu, banyak yang berubah. Pernah sekali atau dua kali kita bertemu tapi tak kunjung mencair pula nadamu. Saat itu mungkin pernah terucap olehku, yakni tentang hidupku yang jauh lebih baik dan semuanya yang telah kulupakan tentangmu.
Yang belum kau tahu, mungkin, bahwa sejak itu saya banyak berbohong.
Ketika kau katakan ingin melanjutkan studi di Eropa, yang kusahut dengan "Ah rencana yang indah. Kau pasti cocok di sana."
Semuanya hanya kepura-puraan. Saya tak yakin kau serius dengan rencana studimu, katamu jenjang karirmu di sini lebih penting. Sat itu kuharap ada banyak hal yang bisa mencegahmu, tak terkecuali doaku.
Saya pun berkilah, saat kau minta bertemu di bandara waktu kau akan berangkat.
Yang kau tak tahu, seharian itu kerjaku hanya menangis berharap kau tak akan pergi dari sini. Waktu itu kukira masih bisa kita perbaiki semuanya, tapi saya pun paham ketika kau sama terlukanya denganku.
Saya bohong, saat berkata "Ah aku lupa kau pernah bilang begitu. Aku lupa kesukaanmu." Nyatanya seluruh daftar kesukaanmu akan benda, warna, klub sepakbola, gaya berpakaian, tutur kata dan seluruhnya masih berturutan hadir di pikiranku. Kau sebegitu melekatnya dalam pikiran dan hidupku. Meski saat ini tak pernah ada sapaku menghampirimu lagi.
Apa kau tega segala tangis yang mati-matian kuperjuangkan dan kubendung selama ini malah roboh hanya dengan sekali balasan sapamu? Tidak, saya tidak akan mencobanya barang sekali. Sudah berlalu, maka biarlah tetap di situ tempatnya.
Hari ini kudengar liburan panjangmu akan kau habiskan di rumah ibumu. Ya kan, bohong bila saya tak tahu sama sekali tentang kondisimu sekarang. Entah siapa saja pasti akan ada yang memberitahu kabar terbarumu padaku.
Maka bila nanti kau sudah tiba di rumah ibu, jangan pernah cari diriku lagi seperti kebiasaanmu dulu. Kau pun sudah pernah mencoba mengabariku akan kepulanganmu itu. Tapi maaf tak akan kujawab untuk saat ini. Tadi pagi, saya sudah mampir ke rumah ibumu. Tidak, bukan kunjungan nostalgia, hanya sekadar maampir menitipkan oleh-oleh untuk anaknya yang baru pulang dari rantau. Kutitipkan padanya doa dan abon kesukaanmu. Kubawakan dalam jumlah yang cukup untuk kau habiskan sebagai laukmu sebulan di negeri perantauanmu.
Maafkan saya yang tak sempat menemuimu. Sebulan saya akan mengambil libur panjang di Bandung. Saya mungkin tak ingin bertemu kau langsung selama maasa liburmu di kampung kita. Maafkan ketidaksiapanku untuk mengorek luka yanng sudah lama kuobati.
Maaf jika saya tak pernah merindumu laagi. Terlebih maafkan atas banyak kebohonganku belakangan ini, juga dalam suratku ini.
Selamat berlibur.
Dari yang kerap mendoakanmu.
Saat saya tak mampu terlelap, namun di sana kaupun tak mampu tuk terjaga.
Sebelumnya maafkan banyak ketidakjujuran yang telah terjadi selama ini.
Yang kutahu kini semuanya telah membaik dan menjadi sebuah hal lumrah.
Apa kabarmu di sana?
Masih belum terbiasakah dirimu dengan kehangatan yang ditawarkan masyarakat sana?
Tidak lebih ramahkah mereka daripada kami yang di Indonesia ini? Itu dulu alasanmu untuk tidak meninggalkan tanah air, yang nyatanya malah kau lepas begitu saja begitu remuk hatimu.
Tenang, hidupku pun berantakan, terlebih hati sejak pertengkaran rutin itu.
Tapi bohong bila saya sekarang telah mampu melupakan semuanya.
Dulu kau bilang rumahmu adalah tempat ternyaman tuk menghabiskan usia. Buktinya kau tinggalkan pula saat kisah kita kandas. Untuk menghindari perjumpaan denganku? Tak perlu bertanya bagaimana saya bisa tahu, 5 tahun sudah cukup untuk sekadar membaca pola pikirmu.
Dulu, saya adalah kamu, dan kamu ada di diriku. Tapi itu dulu, sebelum semuanya berubah.
Setelah tidak menjalani hari bersamamu, banyak yang berubah. Pernah sekali atau dua kali kita bertemu tapi tak kunjung mencair pula nadamu. Saat itu mungkin pernah terucap olehku, yakni tentang hidupku yang jauh lebih baik dan semuanya yang telah kulupakan tentangmu.
Yang belum kau tahu, mungkin, bahwa sejak itu saya banyak berbohong.
Ketika kau katakan ingin melanjutkan studi di Eropa, yang kusahut dengan "Ah rencana yang indah. Kau pasti cocok di sana."
Semuanya hanya kepura-puraan. Saya tak yakin kau serius dengan rencana studimu, katamu jenjang karirmu di sini lebih penting. Sat itu kuharap ada banyak hal yang bisa mencegahmu, tak terkecuali doaku.
Saya pun berkilah, saat kau minta bertemu di bandara waktu kau akan berangkat.
Yang kau tak tahu, seharian itu kerjaku hanya menangis berharap kau tak akan pergi dari sini. Waktu itu kukira masih bisa kita perbaiki semuanya, tapi saya pun paham ketika kau sama terlukanya denganku.
Saya bohong, saat berkata "Ah aku lupa kau pernah bilang begitu. Aku lupa kesukaanmu." Nyatanya seluruh daftar kesukaanmu akan benda, warna, klub sepakbola, gaya berpakaian, tutur kata dan seluruhnya masih berturutan hadir di pikiranku. Kau sebegitu melekatnya dalam pikiran dan hidupku. Meski saat ini tak pernah ada sapaku menghampirimu lagi.
Apa kau tega segala tangis yang mati-matian kuperjuangkan dan kubendung selama ini malah roboh hanya dengan sekali balasan sapamu? Tidak, saya tidak akan mencobanya barang sekali. Sudah berlalu, maka biarlah tetap di situ tempatnya.
Hari ini kudengar liburan panjangmu akan kau habiskan di rumah ibumu. Ya kan, bohong bila saya tak tahu sama sekali tentang kondisimu sekarang. Entah siapa saja pasti akan ada yang memberitahu kabar terbarumu padaku.
Maka bila nanti kau sudah tiba di rumah ibu, jangan pernah cari diriku lagi seperti kebiasaanmu dulu. Kau pun sudah pernah mencoba mengabariku akan kepulanganmu itu. Tapi maaf tak akan kujawab untuk saat ini. Tadi pagi, saya sudah mampir ke rumah ibumu. Tidak, bukan kunjungan nostalgia, hanya sekadar maampir menitipkan oleh-oleh untuk anaknya yang baru pulang dari rantau. Kutitipkan padanya doa dan abon kesukaanmu. Kubawakan dalam jumlah yang cukup untuk kau habiskan sebagai laukmu sebulan di negeri perantauanmu.
Maafkan saya yang tak sempat menemuimu. Sebulan saya akan mengambil libur panjang di Bandung. Saya mungkin tak ingin bertemu kau langsung selama maasa liburmu di kampung kita. Maafkan ketidaksiapanku untuk mengorek luka yanng sudah lama kuobati.
Maaf jika saya tak pernah merindumu laagi. Terlebih maafkan atas banyak kebohonganku belakangan ini, juga dalam suratku ini.
Selamat berlibur.
Dari yang kerap mendoakanmu.
1 comments
Tiap hari jadi keterusan baca suratnya nih :)
ReplyDelete