Hai lama tak jumpa ya.
Kuakui memang belum sepenuhnya saya mau bertemu dirimu, oh tidak, bukan karena hal negatif. Ya hanya belum kusiapkan diriku ini sejak pertemuan terakhir dulu.
Langit mendung siang ini membuatku selintas teringat akan percakapan kecil kita dulu.
Ah, racauan kita saat itu tak mungkin ada yang mengerti selain kita ya.
Tapi manalah ada yang bisa memahami apa saja yang sudah kita lewati di waktu belakangan ini?
Tak ada kan? Ya karena itu pulalah yang membuatku betah duduk diam di sisimu, mendengarkan heningmu, meneduhkan amarahmu.
Sudah berapa lama kau berkelana?
Tidakkah kau masih dicari-cari orang-orang dari kehidupanmu dulu? Saya tak tahu apakah mereka rindu padamu ataukah masih kerap melemparkan pandangan anehnya padamu.
Tapi saya pun paham saat kau enggan membuka kisah perih itu bersama mereka lagi.
Katamu bekas lukamu belum lagi mengering saat kau harus berjuang bangkit kembali mengatasi masalah lain. Tubuhmu melemah, semangatmu memudar, tulangmu bahkan nyaris tak mampu menahanmu lagi.
Tapi di saat itulah kita bertemu, untung pula masih kutemukan seiris senyum riang yang memang terlihat agak dipaksakan dari tubuh kecilmu.
Ah pertemuan pertama itu memilukan ya. Memang berkesan tapi saya memilih untuk melupakannya daripada menghunjam nuraniku lebih dalam. Sayapun yakin kau tak ingin orang lain mengingat tubuh lemahmu waktu itu.
Maka, marilah lupakan saat itu. Mari kita nikmati kemenanganmu saat ini, saya siap mendampingimu lagi untuk mendengar kisah-kisahmu. Saya yakin kamu pasti punya banyak kisah luar biasa kali ini. Tapi, berjanjilah padaku satu hal; kau tak boleh menangis apalagi hingga berderai tak henti seperti saat pertama dulu. Janji ya?
Beberapa hari lalu kau bilang kau sudah dalam puncak kebahagiaanmu kan? Ayo ceritakanlah itu padaku. Saya sudah menobatkan diri sebagai salah satu pendengar setiamu, selain ibumu tentunya.
Ibumu ketika beberapa waktu lalu kusempatkan menengok ke halaman rumahmu, dia sedang sibuk merawat kembang-kembangnya. Ia tak selemah dulu, bahkan tubuhnya sudah bugar. Mungkin dia hanya akan menunggumu untuk bertemu padanya sore itu, tapi nampaknya kau masih enggan sekadar menyapanya.
Maka kumpulkanlah seluruh kisahmu itu. Besok saya akan meluangkan waktuku untuk menantimu. Tak sabar rasanya melihatmu lebih ceria dari waktu itu. Tak pernah terbayangkan olehmu kan untuk jadi pembicaraan banyak orang? Ya mereka itu pun sama sepertiku, menanti kisah keberhasilanmu, ingin medengaar celoteh akan kebahagiaan dan kesuksesanmu kini.
Besok saya dan beberapa teman akan mengunjungimu. Berdandalah, tersenyumlah semanis yang kau bisa, hidupmu sudah bahagia kan?
Kami akan bawakan bunga dari kebun di rumahmu, mengunjungi rumh barumu selama 3 bulan terakhir. Bergembiralah!
Ps: kemarin kulihat rumahmu mulai layu tak berbunga, besok akan kudandani dengan macam warna kembang indah.
Terima kasih untuk perkenalan singkat itu yang telah menginspirasi hidupku selamanya.
Selamat jalan, survivor.
Kali ini saya mengirim doa terikhlasku untukmu.
Dari kawanmu.
Kuakui memang belum sepenuhnya saya mau bertemu dirimu, oh tidak, bukan karena hal negatif. Ya hanya belum kusiapkan diriku ini sejak pertemuan terakhir dulu.
Langit mendung siang ini membuatku selintas teringat akan percakapan kecil kita dulu.
Ah, racauan kita saat itu tak mungkin ada yang mengerti selain kita ya.
Tapi manalah ada yang bisa memahami apa saja yang sudah kita lewati di waktu belakangan ini?
Tak ada kan? Ya karena itu pulalah yang membuatku betah duduk diam di sisimu, mendengarkan heningmu, meneduhkan amarahmu.
Sudah berapa lama kau berkelana?
Tidakkah kau masih dicari-cari orang-orang dari kehidupanmu dulu? Saya tak tahu apakah mereka rindu padamu ataukah masih kerap melemparkan pandangan anehnya padamu.
Tapi saya pun paham saat kau enggan membuka kisah perih itu bersama mereka lagi.
Katamu bekas lukamu belum lagi mengering saat kau harus berjuang bangkit kembali mengatasi masalah lain. Tubuhmu melemah, semangatmu memudar, tulangmu bahkan nyaris tak mampu menahanmu lagi.
Tapi di saat itulah kita bertemu, untung pula masih kutemukan seiris senyum riang yang memang terlihat agak dipaksakan dari tubuh kecilmu.
Ah pertemuan pertama itu memilukan ya. Memang berkesan tapi saya memilih untuk melupakannya daripada menghunjam nuraniku lebih dalam. Sayapun yakin kau tak ingin orang lain mengingat tubuh lemahmu waktu itu.
Maka, marilah lupakan saat itu. Mari kita nikmati kemenanganmu saat ini, saya siap mendampingimu lagi untuk mendengar kisah-kisahmu. Saya yakin kamu pasti punya banyak kisah luar biasa kali ini. Tapi, berjanjilah padaku satu hal; kau tak boleh menangis apalagi hingga berderai tak henti seperti saat pertama dulu. Janji ya?
Beberapa hari lalu kau bilang kau sudah dalam puncak kebahagiaanmu kan? Ayo ceritakanlah itu padaku. Saya sudah menobatkan diri sebagai salah satu pendengar setiamu, selain ibumu tentunya.
Ibumu ketika beberapa waktu lalu kusempatkan menengok ke halaman rumahmu, dia sedang sibuk merawat kembang-kembangnya. Ia tak selemah dulu, bahkan tubuhnya sudah bugar. Mungkin dia hanya akan menunggumu untuk bertemu padanya sore itu, tapi nampaknya kau masih enggan sekadar menyapanya.
Maka kumpulkanlah seluruh kisahmu itu. Besok saya akan meluangkan waktuku untuk menantimu. Tak sabar rasanya melihatmu lebih ceria dari waktu itu. Tak pernah terbayangkan olehmu kan untuk jadi pembicaraan banyak orang? Ya mereka itu pun sama sepertiku, menanti kisah keberhasilanmu, ingin medengaar celoteh akan kebahagiaan dan kesuksesanmu kini.
Besok saya dan beberapa teman akan mengunjungimu. Berdandalah, tersenyumlah semanis yang kau bisa, hidupmu sudah bahagia kan?
Kami akan bawakan bunga dari kebun di rumahmu, mengunjungi rumh barumu selama 3 bulan terakhir. Bergembiralah!
Ps: kemarin kulihat rumahmu mulai layu tak berbunga, besok akan kudandani dengan macam warna kembang indah.
Terima kasih untuk perkenalan singkat itu yang telah menginspirasi hidupku selamanya.
Selamat jalan, survivor.
Kali ini saya mengirim doa terikhlasku untukmu.
Dari kawanmu.
0 comments