Kutuliskan surat ini bagimu, untuk menjadikannya kekal bagimu.
Kepada lelaki yang kuijinkan berbagi pikiranku. Lelaki dengan senyum termanis. Hanya padamulah kuceritakan pandangan dan mimpi-mimpiku tentang dunia serta seisinya. Bersama dengan surat yang kini sedang kau baca ini -entah kapan dan bagaimanapun caranya-, kusampaikan segala doa baik semoga gelimang berkat masih menyertaimu.
Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kita duduk bersama sembari menikmati secangkir kopi. Kala itu kamu datang dengan tergopoh-gopoh sehabis menerobos derasnya hujan di luar sana. Kemudian kau tersenyum, ah andai kau tau saat itu jantungku sempat berhenti karenanya. Senyummu kemudian menjadi salah satu penghiburku di kala lara. Sejurus kemudian kau mengambil kursi di depanku kemudian duduk berhadapan denganku.
Lihat kan? Ingatan tentangmu bahkan telah begitu kuat ada di pikiranku. Pembicaraan kecil kita saat itu begitu kunikmati, sesekali kita berdebat menyatakan buah pikiran masing-masing. Ah pikiranmu seksi sekali, begitu ujarku dalam hati. Sayang saat itu saya terlalu malu mengakuinya, bahkan kemudian kucari argumen lain untuk menyangkalmu.
Percakapan sederhana sebelum pertemuan pertama kita itu pun masih terekam jelas di memoriku. Berawal dari pesan yang awalnya tidak untukku, disitulah kita berkenalan. Tak lama sesudah itu, malam-malam kita selalu dihabiskan untuk memperdebatkan hal-hal kecil yang sepele tapi seru. Dan pikiranmu yang ajaib serta brilliant adalah salahsatu menu favoritku dalam mwnutup hari. Pertemuan pertama denganmu adalah candu selanjutnya bagiku. Bagaimana tidak, momen itu selalu terulang berkali-kali di kepalaku bahkan sampai saat ini.
Kau, lelaki pengagum senja sore hari, menyatakan ketakjubanmu akan segala hal. Kau lelaki tangguh yang bahkan takkan pernah gentar. Mendengar cerita-ceritamu, bahkan jika ada di posisimu, entah separah apa lagi hidup akan mengujiku. Menjadi kawan hingga pendengar setiamu, nyaris sudah akan kutitipkan hatiku padamu jika saja tidak kau larang. Sayangnya ultimatum itu sudah kau keluarkan lebih dulu. Maka tak berani kuambil langkah untuk jatuh sebelum yakin tanah seperti apa yang akan menangkapku.
Hidupmu berat, tapi tidak senyummu. Lelaki berwajah manis dengan senyum paling tulus yang pernah kulihat. Pernah kutawarkan untuk berbagi pikulan berat hidupmu denganku, bukankah semuanya akan lebih ringan bila kau memiliki rekan untuk berbagi, ujarku kala itu. Kau menolak, beralasan hidupku sendiri pun buuh diperhatikan. Ah tapi tahu apa kau tentang hidupku, semuanya di hidupku masih dalam batas wajar.
Hai lelaki manis dengan senyum tulus. Sudah tahukah kau betapa hancurnya haatiku saat itu? Saat dimana kau mengingkari janjimu padaku untuk pertama kalinya. Kau telah memutus canduku terhadap senyummu dengan paksa. Kau tak pernah muncul di pertenuan kedua kita. Hanya kudapati diriku sendiri masih menantimu yang tak kunjung tiba. Awalnya kukira kau hanyasekedar terlambat, tapi nyatanya sampai sekian masa yang berlalu kau tak pernah kembali untuk menemuiku. Masih dengan segala tanyaku juga rasa jengkel kucari kabarmu. Kukira hari itu akan membahagiakan, ternyata kau tak pernah tiba.
Sejak pertemuan kedua kita yang tak pernah terjadi itu ada banyak kecewa padamu. Tanpa kabar dan tak ada permohonan maaf sesudahnya. Kemudian baru kusadari namamu pun belum sempat kau ucapkan pada waktu sebelumnya
Seminggu setelah kau abaikan penantianku itu, barulah kuketahui jelas namamu. Rupanya namamu indah seperti senyummu. Tapi tidak tahukah kau betapa hancurnya diri ini saat tak bisa lagi bertemu denganmu? Rupanya deritamu telah merenggutmu lebih dulu sebelum kita bisa bertemu lagi. Sesedikit itukah waktuku untuk bisa mengenalmu? Entahlah sudah berapa kehilangan yang kualami, tapi kehilanganmu ini benar-benar telah mematahkan hidupku. Kau tak pernah menepati janji terakhirmu padaku. Katamu kau akan berjuang untuk merebut hidupmu dari derita sakitmu sendiri? Tapi kau akhirnya menyerah pada hidupmu yang telah lama kau pejuangkan.
Adik perempuanmu menghubungiku, darinya lah kuketahui jelas namamu. Pergilah sayang, pergi. Perjuanganmu sendiri terlalu berat kau tanggung selama ini.
Sudah cukup bagiku untuk pernah mengenalmu, tapi tak pernah habbis waktuku untuk mengenangmu.
Akhirnya berakhir juga penderitaanmu. Semoga kau lebih berbahagia, senyummu pasti lebih bahagia lagi di sana ya..
Tertanda,
Yang merindukan senyummu.
Solo, 5 Februari 2014.
2 comments
mana orangnya sih, kok ndak disampaikan ke orangnyaaaa?
ReplyDeletebesok nulis buat ibu yuuk :D
- ika
I'll try kak :)
Delete