google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU Ketika Tanya Menemukan Jawab | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

Ketika Tanya Menemukan Jawab


Aku kadang bertanya kenapa kita hidup untuk menjawab “Why” dalam hidup kita. Boleh dibilang kurang sependapat malah. Bagaimana jika saya lantas lebih setuju jika hidup saya ini ya ada untuk menemukan jawaban demi jawaban, saya ada untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul di hidup saya. Itu menurut saya. Itupun setelah ada seorang kawan yang berprinsip “Ya saya ada untuk mencari WHY dalam hidup saya.”
Saya agak terusik.

—-
Hari ini ada yang berbeda. Oh tentu saja setelah berapa lama -aku lupa sudah berapa hitungan- kita tak bersua. Kamu datang, kita duduk berhadapan.
“Oke, saya punya waktu cukup panjang. Sampai sore ini aku free. Kamu boleh tanya apa saja, saya akan sediakan jawabannya”
“Apa saja?” tanyaku memastikan.
“Iya apa saja,” anggukmu mantap. Anak rambutmu turut terkibas saat kau mengangguk.
“Aneh, tak biasanya. Kenapa?”
“Oke ini pertanyaan pertamamu? Kenapa? Ya karena saya tahu kamu punya banyak pertanyaan untukmu. Dan tak pernah ada yang biasanya di tengah-tengah kita,” katamu. Aku-saya seperti kebiasaan dulu ya, khas kamu sekali.
Sebenarnya saat itu aku ingin protes. Ini aneh, kenapa pula kami harus menjawab sementara aku bertanya. Tapi baiklah, kupikir tak ada salahnya mengikuti arus permainanmu.
“Kenapa akhirnya kamu ada di sini?” tanyaku
“Saya rasa saya punya banyak hutang sama kamu. Mungkin hari ini saya melunasinya, dengan kehadiranku.”

“3 tahun lalu, kenapa Ayahku tak bisa hadir di wisudaku?”
“Saya tidak tahu pasti. Hanya saja dia akhirnya mampu membiayai kuliahmu hingga tuntas bukan? Sepertinya wisudamu tak ubahnya selebrasi semata baginya, dia cukup melihatmu dari jauh. Kebanggaannya melihat kamu sudah lulus, itu saja.”
Saat itu kopi pesananmu tiba. Aku terjeda ketika hendak menyela ucapanmu barusan.
“Ah tahu apa kamu tentang Ayah! Dia hanya tak pernah peduli padaku”
“Itu menurutmu, kata saya dia hanya melepasmu sebagai tanggung jawabnya begitu kamu lulus. Kamu tetap anaknya hanya saja prioritasnya sudah perlahan berganti”
“Kenapa di dunia ini bisa ada orang jahat?” tanyaku tiba-tiba.
“Orang jahat itu hanyalah orang tak tidak setujuan dan sepemikiran dengan kamu”
“Kenapa gitu?” dahiku berkenyit menanyakannya padamu.
“Ya karena buat kamu dia jahat, baginya dia hanya melakukan pemenuhan hasrat dan kebutuhannya. Misalnya pencopet. Buat yang dicopet, dia tentu jahat mengambil barang yang bukan miliknya. Buat si pencopet ya dia hanya kepepet dengan urusannya, mungkin dia butuh uang lebih untuk anaknya yang sakit atau untuk makan,” jelasmu.
“Saya paham. Tapi saya tak bisa terima pemikiranmu”
“Terserah kamu saja. Intinya, di dunia ini tak ada orang yang jahat. Semuanya baik, hanya kita kadang tak sejalan tujuan dan pemikirannya. Ya seperti copet tadi misalnya.”
“Aneh!”
“Bagimu aneh, tapi itu pemikiranku.”
Aku membuang pandanganku keluar jendela. Banyak orang berlalu-lalang, motor beriringan, mobil menderu. Semua sibuk dengan ritmenya masing-masing.
“Kenapa kita suka melanggar lalu lintas?” tanyaku tiba-tiba.
“Hmm.. tak ada orang yang ingin lama di perjalanan. Mereka pikir dengan melanggar akan membuatnya lebih cepat sampai. Nyatanya mereka tidak sadar bahaya mengintai mereka, kan mereka lebih rentan celaka kalau melanggar.”

“Kenapa ya harus ada orang yang suka melanggar aturan?”
“Hampir sama dengan jawabanku sebelumnya. Buat mereka aturan hanya mempersulit, dikiranya lebih mudah kalau mereka ciptakan ketentuan sendiri, padahal itu merusak tatanan”
“Kenapa bisa begitu?”
“Aturan itu ada kan membentuk sistem dan norma di kehidupan kita. Kalau ada satu orang, sepuluh orang pelan-pelan merusak aturan yang sudah dibuat, lama-lama ya goyah juga dong aturan di masyarakatnya”
“Jadi kamu belajar ini dulu jauh-jauh?” tanyaku padanya, nadaku sedikit kunaikkan.
“Tidak tepat begitu memang, tapi anggaplah iya.”
“Apa yang kamu dapat selama perjalananmu 3 tahun ini?”
“Banyak. Saya belajar tentang hidup. Belajar tentang pergi, melepaskan, memahami, keindahan, memaknai perjalanan, menghargai, ikhlas.”
“Banyak ya. Jadi perjalananmu sudah selesai?”
“Belum berakhir meski ritmeku tak secepat dulu. Saya punya banyak cerita untuk kamu. Ayo tanya saya lebih banyak lagi,” katamu menggebu-gebu, sayangnya aku tak terlalu tertarik.
“Saya sedang tak butuh ceritamu. Seperti katamu, mungkin lebih tepatnya kali ini biar jawabanmu saja yang menjadi oleh-oleh buat saya,” kataku.
Kemudian aku melanjutkan, “Saya bingung, kenapa kita -semua orang- berlomba-lomba ingin diakui oleh orang lain ya?”
Kamu terdiam, menyeruput sejenak kopimu yang kecoklatan. Cangkirnya mengepul, tanda kopimu masih terlalu panas untuk segera diminum.
“Begini, pengakuan itu seperti bukti ketika orang lain melihat kita sebagai sosok yang utuh, genap. Saya lihat tak ada satupun orang yang tak ingin dianggap. Pengakuan itu bahan bakar buat ego kita. Hidup kita ini butuh diakui oleh orang di sekitar kita. Ya supaya kita tabu bahwa kerja keras kita ada hasilnya; dilihat orang.”

“Kamu tahu kenapa bau hujan menyenangkan sekali?”
“Iya aku suka bau hujan. Tapi aneh memang, air kok punya bau” ujarku terkekeh kecil. Kulihat matanya menerawang jauh keluar. Entah memikirkan apa ia, alisnya berkerut seperti berpikir keras.
“Hmm dulu aku pernah dikasih tahu seseorang, bau hujan itu Petrichor namanya. Dia memang air, ajaibnya punya bau. Tapi sebenarnya itu bau minyak yang terlepas dari tanah di bumi. Minyak itu ya dari tumbuh-tumbuhan yang selama musim kering menyimpan minyak, jadi begitu hujan minyaknya lepas. Menarik ya?”
“Wah! Aku baru tahu!” seruku girang. Kulihat is tertawa.
“Iya Petrichor. Hujan itu salah satu momen kesukaanku dalam hidup. Segar. Kalau kamu?”
“Aku? Kalau kamu tanya momen kesukaanku, siapa sih yang tidak suka hujan? Aku suka hujan. Asal nggak bikin banjir ya,” ujarku sambil mengunyah potongan pisang goreng di depan kami.
Dalam hatiku, aku mau bilang kalau ini mungkin salah satu mimen favoritku. Bisa bercerita dengannya, setidaknya bisa bertemu dia yang selalu sibuk, tak ada waktu.
Tapi nyaliku ciut. Iya rupanya aku enggan menyampaikan perasaan hangat yang tiba-tiba menyeruak ini. Aku ngga rela bahkan melewatkan sedikit pun dari pertemuan dengannya. Aku dapat melihat jelas bagaimana helai anak rambutnya perlahan melambai tatkala ada angin berhembus pelan. Aku tertegun menyaksikan bagaimana matanya yang tajam memandang jauh ke depan, yang sekaligus membuat degup jantungku tak beraturan. Bagaimana jari-jarinya yang panjang dan kukunya yang bersih itu sering mengetuk-ngetuk meja ketika dia sedang berpikir atau melontarkan pertanyaan padaku.
“Kenapa baru sekarang ini terjadi?” tanyaku pada diriku sendiri. Aku merutuki waktu yang tak pernah berpihak padaku. Bahkan sekarang waktu begitu kejam. Dia menghabiskan waktuku dengannya saat ini sangat cepat.

—-

“Sepertinya sudah saatnya saya pergi,” katanya tapi ia masih terlihat enggan meninggalkan kursinya. Ia mulai terlihat kaku lagi dengan menyebut dirinya ‘saya’.
“Apa ngga bisa sebentar lagi? Aku masih ounya 2 halaman daftar pertanyaan nih belum kamu jawab. Hahaha,” aku tertawa meski dalam hati begitu ingin menahannya di sini lebih lama lagi.
“Mungkin lain kali. Hari sudah hampir hujan. Biar kita melihat hujan dari rumah masing-masing saja,” ucapannya meyakinkanku, ia melihat ke arahku, tersenyum simpul.
“Baiklah. Kamu menikmati hari ini?” tanyaku, tak ingin rasa penasaran ini membuatku mati.
“Tentu! Kamu teman bicara yang asik ternyata. Ah iya, aku punya 1 pertanyaan lagi, maukah kamu menjawabnya?” ujarnya seraya meraih tasnya bersiap beranjak pergi.
Aku mengangguk.
Kemudian ia melanjutkan, “Kalau saya boleh tahu, siapa namamu? Kita selama ini belum pernah berkenalan dengan layak.”
Aku terhenyak. Pertanyaan sama persis yang sejak dari pertama kami bertemu dulu ingin kuajukan.
“Permata Tanya Kurnia. Jadi siapa nama lengkapmu?”
“Hai Tanya. Aku, Restu Januar Wabil. Kamu boleh tetap panggil aku Jawab, kayak teman-temanku, atau Restu,” katanya tersenyum. Saat itu kami bersalaman cukup lama. Kami saling memandang.
Hari ini pertama kalinya kami tahu nama masing-masing. Hari ini kami bersepakat untuk bertemu lagi di lain waktu, untuk lebih mengenal satu sama lain.
Hari ini Tanya dan Jawab, menuntaskan banyak hal yang selama ini hanya bergelayut di pikiran mereka sejak 4 tahun lalu.


0 comments