Sudahkah Pendidikan Kita Merdeka?
72 tahun Indonesia merdeka, namun seringkali kita mendengar bahwa sesungguhnya negeri kita tercinta ini belum sepenuhnya bebas dari belenggu penjajahan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia elektronik yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, merdeka memiliki makna bebas dari perhambaan juga penjajahan, tidak bergantung pada orang atau pihak tertentu.
Mari kita telaah lebih dalam lagi. Merdeka memiliki makna lain usaha untuk hidup secara mandiri dengan tidak bergantung pada pihak lain. Dalam konteks pendidikan, memang sulit rasanya jika ingin benar- benar mandiri. Namun sulit bukan berarti tak bisa. Hanya selama ini banyak pelaku pendidikan yang lebih memilih tidak berbuat lebih saat dibebaskan untuk berkreasi sebaik- baiknya dalam ranah pendidikan yang mereka tekuni. Masih ingatkah kita saat menjadi siswa dulu, saat diberi tugas menggambar bebas, apakah sudah benar- benar berkreasi dengan sebaik dan sebebas mungkin? Sebagian mungkin ya, sudah berusaha sebaik mungkin. Namun berkreasi dengan sebebasnya masih banyak yang belum mampu melakukannya. Mengapa belum mampu? Terkadang kita masih melihat ada banyak hal yang membatasi kebebasan itu. Entah takut dapat nilai tak memuaskan atau mendapat cemooh dari sekitar.
Mari melihat lebih kecil lagi, dalam hal pendidikan daerah, setelah hampir satu tahun menggenapi perjalanan sebagai tenaga pengajar di sebuah SD di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau saya melihat banyaknya potensi yang masih belum tersentuh. Ada banyak hal yang mengejutkan saya begitu tiba di Natuna pertama kali. Tiba di hari pertama saya mengajar, saat membuka perpustakaan anak- anak berkerumun membaca buku, mulai dari buku cerita hingga ensiklopedia. Tak hanya membaca, rasa ingin tahu mereka menyeruak menjadi tanya tatkala saya mulai ajak mereka mengobrol. Salah satunya masih begitu saya ingat hingga saat ini, "Bu, bagaimana bisa ada bayi kembar siam?"
Saya terdiam. Seorang anak SD mampu mempertanyakan hal yang cukup sulit saya jelaskan bagi mereka yang bahkan masih belum paham seperti apa kondisi tersebut. Rupanya rasa ingin tahu mereka begitu tinggi, pun demikian dengan minat baca mereka. Dengan akses listrik hanya selama 4 jam sehari, tentulah buku hampir pasti menjadi sumber utama pembelajaran mereka, bukannya gawai terkini atau dari televisi.
Terbatasnya listrik, transportasi, sinyal telepon apalagi internet ini rupanya tak lantas membuat anak- anak ini menyerah untuk belajar. Mereka memang tak dapat menikmati luasnya media belajar dari internet seperti anak kota, pun buku yang ada di perpustakaan jarang sekali ada yang baru atau dari 5 tahun terakhir. Kemampuan mereka menyerap informasi patut diacungi jempol. Di tengah banyak keterbatasan, mereka menyimpan banyak potensi yang sayangnya belum banyak diperhatikan oleh pelaku pendidikan.
Menghadirkan sebuah pendidikan yang merdeka bagi saya adalah tugas semua pelaku pendidikan. Tak hanya guru, orang tua, masyarakat, bahkan siswa itu sendiri pun turut memegang peranan penting untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif. Pendidikan yang merdeka sesungguhnya adalah pendidikan yang mampu menembus batas maupun rintangan yang ada. Pendidikan di daerah tentu punya tantangan yang lebih besar, maka kemerdekaan pendidikan ini dapat saja berwujud sebuah sistem belajar kreatif yang tidak terhambat oleh berbagai keterbatasan. Bebas namun tetap bertanggung jawab. Berkreasi sebebasnya namun juga ingat tugas utamanya untuk mengubah perilaku dan sikap seseorang.
Kelak tak masalah jika ruang- ruang pendidikan dihadirkan tanpa sekat di pelosok Indonesia manapun. Selama ada inisiatif orang- orang yang mampu menggerakkan pendidikan daerah, maka sesungguhnya pendidikan bisa hadir di mana saja dan siapapun bebas jadi guru maupun muridnya. Pendidikan yang merdeka sesungguhnya adalah pengejawantahan dari kalimat “Belajar itu merupakan proses seumur hidup”. Belajarlah selama masih hidup, darimanapun, dimanapun, dan kapanpun.
Hanna Suryadika Siahaan
0 comments