Tadi sore ceritanya ibadah minggu di GKI Sangkrah. Kebetulan yang berkhotbah adalah pendeta dari Jakarta yang namanya udah ngga asing lagi. Pdt. Joas Adiprasetya. Ada beberapa hal yang menarik sekaligus nampar dikit sih dalam khotbahnya. Hehehe.
Begini ceritanya
Beliau sering mewawancarai mahasiswa baru di Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta.
Pendeta: kenapa kamu mau masuk STT?
mahasiswa: saya yakin ini panggilan hidup saya pak pendeta. Ini panggolan Tuhan *wuiihh*
Pendeta: dari mana kamu tau ini panggilan Tuhan?
Mahasiswa: karena tahun pertama saya tidak diterima di UI dan kampus lainnya, maka saya tahu kalau Tuhan menunjukkan bahwa jalan saya di sini.
Percakapan barusan bisa jadi akan diperankan oleh saya sendiri sebagai mahasiswanya. Di tahun pertama saya lulus SMA, saya mengutarakan hal itu pada mama. Dan berhasil... berhasil dimarahin. Loh kok dimarahin? Anaknya bagus mau jadi pendeta kok dimarahin? Karena ternyata saya sama aja kayak si mahasiswa yang diceritain pak pendeta tadi. Saya mau masuk STT karena saya 'merasa' ditunjukkan jalan oleh Tuhan setelah gagal mencoba lebih dari 3 kali test masuk perguruan tinggi negeri. Ya jelas lah mama saya ngomel-ngomel pas saya bilang keinginan itu. "Kalau kamu memang mau jadi pendeta, seharusnya dari awall kamu bilang. Dari awal kamu coba aturannya test masuk STT, bukan di PTN. Itu kalau memang benar panggilan hatimu," kata mama sewot. Abis itu saya cuma nyengir aja jawabnya, dalam hati mengiyakan juga.
Tapi kenapa sih saya kepikiran mau jadi pendeta?
Keinginan untuk jadi pendeta itu sebenarnya muncul bukan tiba-tiba aja semenjak gagal berkali-kali test PTN. Tapi dari jaman SMA tuh ssaya pikir saya punya ketertarikan mendalam pada ilmu teologi dan sejarah gereja. Saya suka baka silsilah dan sejarah yang ada di Alkitab. Apalagi dari jaman TK saya sih paling anti bolos sekolah minggu dan sampai gede pun agak enggan lepas dari sekolah minggu karena di kebaktin dewasa kayaknya kurang dapet cerita-cerita sekolah minggu gitu. Selain itu juga saya pernah kepikiran untuk membuat gereja HKBP tidak lagi dicap sebagai gereja yang ibadahnya ngebosenin kata orang-orang. Saya pengen ngerubah stigma itu, dan saya pengen belajar lebih dalam soal teologi. Terus terang saya banyak bertanya-tanya dan merangkai jalan pikiran sendiri semenjak belajar di sekolah minggu dan katekisasi soal sejarah gereja, konsep ketuhanan, isi Alkitab dan sejarah Kristen sendiri. Tanpa pernah menggugat, saya mencoba untuk mengerti dan pahami urutannya, ternyata menyenangkan! Maka sejak itulah saya pikir menjadi seorang pendeta atau setidaknya (kalo akhirnya saya sekuler banget misalnya) jadi sarjana theologia aja seru.
Memang kalimat mama saya tadi juga udah bikin saya tertohok kers juga sih. Saya yakin minat saya di dunia theologia memang cukup besar dan bisa jadi bekal untuk kuliah di STT. Tapi untuk jadi pendeta pun butuh lebih dari sekedar minat. Butuh panggilan hati, panggilan spesial dari Tuhan. Dan yang paling penting, tidak mementingkan diri sendiri serta meninggalkan hal-hal keduniawian (hmm ngga seserius itu mungkin, tapi komitmen!). Hal itulah yang buat saya berpikir ulang. Ih nyokap gue bener juga, kok ya dangkal banget ya gue karena males nganggur nunggu SPMB tahun depan buat masuk PTN dan karena udah stress berat bgga dapet-dapet tempat kuliah kok malah banting setir jadi pendeta. Kasihan ketika misalnya saya jadi pendeta yang setengah hati karena tidak masuk PTN. Saya di lain sisi juga tidak mau jadi hamba Tuhan yang rusak di kemudian hari. Maka akhirnya saya teguhkan hati saya. Saya yakini saja kalau menjadi hamba Tuhan kan tidak harus jadi pendeta. Saya yakin itu dari kecil. Jadi orang baik dan orang yang dikasihi Tuhan, jadi berkat memang tidak harus jadi pendeta, pelayan kebaktian, atau anggota paduan suara. Gitu juga kata Opung doli (kakek) saya aebelum meninggal. Berkarya di ladang Tuhan bisa melalui hidup kita sehari-hari, apapun pekerjannya.
Maka, di sinilah saya sekarang. Jadi mahasiswa Ilmu Komunikasi. Lolos masuk PTN di tahun pertama saya lulus SMA, setelah melewati 7 kali test ujian masuk PTN. Dan sampai hari ini saya nggak pernah malu kalau dulu bercita-cita sebagai pendeta. Saya menilai pendeta itu pekerjaan yang sulit, dan juga perlu pemahaman keilmuan yang luar biasa besar. Ilmu dan soal ketuhanan terkadang bagi pra ilmuwan seringkali bertolak belakang atau malah saling meruntuhkan satu sama lain. Tapi buat seorang pendeta, keduanya adalah simpul yangsalin mengikat dan mengokohkan pengetahuan sekaligus iman mereka.
Keren, kan?
Salam,
HS
Begini ceritanya
Beliau sering mewawancarai mahasiswa baru di Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta.
Pendeta: kenapa kamu mau masuk STT?
mahasiswa: saya yakin ini panggilan hidup saya pak pendeta. Ini panggolan Tuhan *wuiihh*
Pendeta: dari mana kamu tau ini panggilan Tuhan?
Mahasiswa: karena tahun pertama saya tidak diterima di UI dan kampus lainnya, maka saya tahu kalau Tuhan menunjukkan bahwa jalan saya di sini.
Percakapan barusan bisa jadi akan diperankan oleh saya sendiri sebagai mahasiswanya. Di tahun pertama saya lulus SMA, saya mengutarakan hal itu pada mama. Dan berhasil... berhasil dimarahin. Loh kok dimarahin? Anaknya bagus mau jadi pendeta kok dimarahin? Karena ternyata saya sama aja kayak si mahasiswa yang diceritain pak pendeta tadi. Saya mau masuk STT karena saya 'merasa' ditunjukkan jalan oleh Tuhan setelah gagal mencoba lebih dari 3 kali test masuk perguruan tinggi negeri. Ya jelas lah mama saya ngomel-ngomel pas saya bilang keinginan itu. "Kalau kamu memang mau jadi pendeta, seharusnya dari awall kamu bilang. Dari awal kamu coba aturannya test masuk STT, bukan di PTN. Itu kalau memang benar panggilan hatimu," kata mama sewot. Abis itu saya cuma nyengir aja jawabnya, dalam hati mengiyakan juga.
Tapi kenapa sih saya kepikiran mau jadi pendeta?
Keinginan untuk jadi pendeta itu sebenarnya muncul bukan tiba-tiba aja semenjak gagal berkali-kali test PTN. Tapi dari jaman SMA tuh ssaya pikir saya punya ketertarikan mendalam pada ilmu teologi dan sejarah gereja. Saya suka baka silsilah dan sejarah yang ada di Alkitab. Apalagi dari jaman TK saya sih paling anti bolos sekolah minggu dan sampai gede pun agak enggan lepas dari sekolah minggu karena di kebaktin dewasa kayaknya kurang dapet cerita-cerita sekolah minggu gitu. Selain itu juga saya pernah kepikiran untuk membuat gereja HKBP tidak lagi dicap sebagai gereja yang ibadahnya ngebosenin kata orang-orang. Saya pengen ngerubah stigma itu, dan saya pengen belajar lebih dalam soal teologi. Terus terang saya banyak bertanya-tanya dan merangkai jalan pikiran sendiri semenjak belajar di sekolah minggu dan katekisasi soal sejarah gereja, konsep ketuhanan, isi Alkitab dan sejarah Kristen sendiri. Tanpa pernah menggugat, saya mencoba untuk mengerti dan pahami urutannya, ternyata menyenangkan! Maka sejak itulah saya pikir menjadi seorang pendeta atau setidaknya (kalo akhirnya saya sekuler banget misalnya) jadi sarjana theologia aja seru.
Memang kalimat mama saya tadi juga udah bikin saya tertohok kers juga sih. Saya yakin minat saya di dunia theologia memang cukup besar dan bisa jadi bekal untuk kuliah di STT. Tapi untuk jadi pendeta pun butuh lebih dari sekedar minat. Butuh panggilan hati, panggilan spesial dari Tuhan. Dan yang paling penting, tidak mementingkan diri sendiri serta meninggalkan hal-hal keduniawian (hmm ngga seserius itu mungkin, tapi komitmen!). Hal itulah yang buat saya berpikir ulang. Ih nyokap gue bener juga, kok ya dangkal banget ya gue karena males nganggur nunggu SPMB tahun depan buat masuk PTN dan karena udah stress berat bgga dapet-dapet tempat kuliah kok malah banting setir jadi pendeta. Kasihan ketika misalnya saya jadi pendeta yang setengah hati karena tidak masuk PTN. Saya di lain sisi juga tidak mau jadi hamba Tuhan yang rusak di kemudian hari. Maka akhirnya saya teguhkan hati saya. Saya yakini saja kalau menjadi hamba Tuhan kan tidak harus jadi pendeta. Saya yakin itu dari kecil. Jadi orang baik dan orang yang dikasihi Tuhan, jadi berkat memang tidak harus jadi pendeta, pelayan kebaktian, atau anggota paduan suara. Gitu juga kata Opung doli (kakek) saya aebelum meninggal. Berkarya di ladang Tuhan bisa melalui hidup kita sehari-hari, apapun pekerjannya.
Maka, di sinilah saya sekarang. Jadi mahasiswa Ilmu Komunikasi. Lolos masuk PTN di tahun pertama saya lulus SMA, setelah melewati 7 kali test ujian masuk PTN. Dan sampai hari ini saya nggak pernah malu kalau dulu bercita-cita sebagai pendeta. Saya menilai pendeta itu pekerjaan yang sulit, dan juga perlu pemahaman keilmuan yang luar biasa besar. Ilmu dan soal ketuhanan terkadang bagi pra ilmuwan seringkali bertolak belakang atau malah saling meruntuhkan satu sama lain. Tapi buat seorang pendeta, keduanya adalah simpul yangsalin mengikat dan mengokohkan pengetahuan sekaligus iman mereka.
Keren, kan?
Salam,
HS
0 comments