google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU Demo Mahasiswa, Masihkah Berlaku? | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

Demo Mahasiswa, Masihkah Berlaku?

Kemarin timeline twitter saya sempat ramai bahas soal pengesahan RUU Pilkada. Ya, akhirnya Pilkada ditetapkan melalui DPRD, dan tentu langsung banyak protes dari masyarakat. Di twitter, tuips- tuips ini tidak hanya menyoroti hasil putusan anggota DPR di rapat itu saja, bahkan mereka amat fokus pada peristiwa walkout nya Partai Demokrat. SBY dinilai gagal untuk memimpin partainya untuk mempertahankan pendapat mereka demi memilih Pilkada langsung. Dan twitter pun langsung ramai dengan hashtag #ShameOnYouSby.

Tapi, bukan soal ramenya hestek yang jadi Trending Topic Worldwide itu yang mau saya bahas. Pas saya lagi scrolling timeline, tiba- tiba terbaca sebuah ritwitan yang kurang lebih intinya: "Wahai mahasiswa, dimanakah suaramu?" tweet ini sepertinya masih dalam hal yang sama, mencari suara mahasiswa di tengah keriuhan pengesahan RUU Pilkada via DPRD ini. Orang tersebut mencari- cari dimanakah suara para mahasiswa yang dulunya gemar turun ke jalan- jalan, menyuarakan suara mereka, menumpas tirani, menelisik kebenaran, menyingkiran kebobrokan politik dan politikus.

Kalau bisa kita ingat, tahun 1998 dulu (saya masih umur 6 tahunan sih waktu itu), mahasiwa- mahasiswa kan pada turun ke jalan. Mereka demo, mengeluarkan opini (bahkan kemarahannya) atas orde baru, menuntut reformasi, hingga memaksa mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden ke- 2 RI. Dulu sejarah mencatat, mahasiswa- mahasiswa 98 itu pernah menduduki gedung MPR, mereka berhasil memaksa suaranya didengar, membantu masyarakat untuk menyampaikan suaranya kepada para petinggi negeri. Tapi... itu dulu. Bagaimana kondisi mahasiswa saat ini?

Pertanyaan barusan, juga tweet yang saya baca, mengingatkan saya pada satu masa dimana saya mulai bergabung dengan lembaga pers mahasiswa VISI di kampus FISIP.  Awal- awal masuk dulu kami diajarkan dan dilatih untuk berpikir kritis, menuntut saat kurang puas, bertanya saat kurang jelas, berbicara jika ada yang tak sesuai, dan bersikap ketika ditekan. Sayangnya dari hasil pengkaderan tersebut terlihatlah kecenderungan mahasiswa- mahasiswa masa kini itu tidak untuk berdemo dan bersuara lantang di jalan- jalan. Kalau ada suatu hal yang kami rasa tidak cocok, pelan- pelan dibahas dan dimusyawarahkan untuk mengambil kata sepakat. Ya azas musyawarah mufakat lah pokoknya yang berlaku di kehidupan organisasi ini. Nah, soal kekritisan terhadap hal- hal bersifat kenegaraan, nampaknya berbeda, atau bahkan lebih buruk. Menurunnya sifat kekritisan ini, berakibat jadi bungkamnya mahasiswa masa kini terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah orde reformasi. Kasarnya, apapun yang ditempuh oleh pemerintah, kami sebagai warga negara yang patuh akan mengikutinya. Meski demikian, mahasiswa tak semuanya begitu kan? Banyak juga kok yang turun ke jalan, untuk demo. Misalnya saat kemarin ada kebijakan untuk menaikkan harga BBM, wuih itu demo udah setiap kampus di Solo rasanya ikut bersuara di jalan- jalan. Mahasiswa lainnya kemana? Sebagian buat yang mengikuti perkembangan dalam negeri ya cuma bisa berpendapat personal di akun pribadi atau sekedar obrolan antar teman, atau yang lebih banyak lagi sih memilih cuek dengan alasan sudah pusing ngurusin negara yang ngga tau kapan benernya. "Lah elu mikirin aja kaga mau, gimana mau bener cuy?" 

Saya pribadi sih mengikuti perkembangan politik negeri ini, cuma saya telat sadarnya kalau ternyata ada banyak kanal yang bisa memperpanjang gaung suara saya pribadi. Untuk ikut demo, nampaknya saya tidak termasuk golongan- golongan tersebut karena berbeda wadahnya. Kalau saya sendiri sih melihat biasanya mahasiswa yang turun ke jalan itu anak BEM atau DEMA (dema juga ngga ya? cmiiw). Nah saya bahkan ngga tergabung di dalam dua organisasi itu, tapi tetap perduli pada isu- isu negara terkini. Tapi kan bisa ikut menyumbang suara melalui mereka? Hmm, mungkin bisa, tapi sepertinya tidak pernah terjadi. Kenapa saya bilang begitu? Kalau setiap ada mahasiswa demo, misalnya dari kampus saya, ya mereka langsung aja tuh turun ke jalan tanpa pernah ada diskusi sama beberapa 'elit mahasiswa' (perwakilan mahasiswa) lainnya. Toh yang punya pemikiran kan bukan cuma anak- anak BEM aja kan, tapi kenapa tidak pernah ada diskusi terbuka sebelum mereka mengangkat topik untuk didemokan? Mungkin emang takut kelamaan dan keburu basi isunya kalau didiskusikan dulu, tapi lantas muncul permasalahan "Pernyataan siapa dong yang mereka bawa ke masyarakat, yang mereka usung demo itu pendapat siapa?" Saya pun tak tahu, bisa jadi itu hanya pendapat minoritas dari mereka kan? Dan hal itu pula yang saya sayangkan. Padahal untuk isu kenaikan BBM saja misalnya cuma ada berita seputar mahasiswa yang demo menolak kenaikan harga itu, nah mahasiswa mana sih yang mereka bela? Toh saya dan sebagian besar teman- teman di sekitar saya malah mendukung pemerintah kok karena nyatanya negara merugi terus (padahal kita juga pusing mikir uang bensinnya). Itu masih isu soal BBM, soal isu lainnya? Pasti masih banyak lah pernyataan yang justru bertolak belakang dengan apa yang didemokan oleh mahasiswa yang turun ke jalan tersebut, sayangnya tidak terdengar hanya karena tidak diwadahi dengan tepat.


Selain soal eksklusifitas atau malah kurang universalnya pernyataan yang diangkat menjadi opini mahasiswa, dan jadi kausanya mahasiswa itu demo, alasan berikutnya yaitu netralitas mahasiswa. Hmm, agak serius sih ini, tapi tidak bermaksud menyudutkan juga. Mari santai sejenak. Jadi terkait opini mahasiswa yang berdemo itu menurut saya belum menunjukkan pendapat umum seluruh mahasiswa dari sebuah kampus. Seperti yang saya bilang di paragraf sebelumnya, bisa aja pernyataan mereka itu murni pendapat di kalangan (kecil) organisasi mahasiswa tersebut aja, karena tidak adanya diskusi terbuka di mahasiswa sebelum mereka demo. Selain itu, beberapa organisasi eksternal kampus ternyata (dan saya baru tahu setelah hampir lulus) kalau ikut mengkader  anggotanya di beberapa organisasi kampus. Organisasi eksternal kampus sih bukan berarti negatif ya, tapi bisa jadi positif meski mereka menyusup ke pergerakan internal kampus untuk mencari kader- kader muda dari kalangan mahasiswa. Yang jadi tidak pas ketika organisasi non kampus ini adalah sebuah organisasi yang berasaskan aliran paham tertentu, entah paham agama yang tidak sesuai di Indonesia atau sekedar organisasi anak bentukan sebuah partai, maupun yang bersifat politis. Soal organisasi politis yang datang dari luar kampus, biasanya mereka mencari kader- kader baru dari mahasiswa- mahasiswa aktif di kampus. Tentu dong ya, mereka mau menghasilkan kader yang intelektual maka mereka cari di kampus dan yang aktif mahasiswanya, maka masuklah mereka ke dalam organisasi kampus dengan cara mengkader anggota- anggota organisasi kemahasiswaan tertentu. Memang bukan organisasi mahasiswanya yang ditunggangi, namun mahasiswa itu sendiri lah (dan kawan-kawannya) yang dibentuk menjadi generasi penerus organisasi politik non kampus itu. Nah kalau orang- orang organisasi mahasiswa sudah ada yang mayoritas dikader jadi sebuah anggota partai atau organisasi politik, gimana kabar organisasi kampusnya? Mungkin kedua hal ini akan jauh berbeda ya, susah juga untuk organisasi dalam kampus masa mau diobrak abrik orang luar, kasarnya kan begitu, lagipula rugi banget ngurusin hal kecil kayak mempengaruhi paham organisasi kampus aja. Tapiii...jangan lupa, mahasiswa kan agen perubahan di masyarakat. Sekali kalian sepemahaman dengan mahasiswa, maka mereka akan menyebarkan paham mereka ke temannya atau lebih luas lagi, masyarakat. Lantas ketika parpol "sudah masuk kampus" dan beberapa mahasiswa bahkan ada yang sudah jadi kadernya sebenarnya saya rasa kurang baik juga sih.
Kenapa? Karena mari kita lihat, mahasiswa yang sudah dikader dalam parpol itu kan punya keyakinan atas partai A, partai B dan partainya sendiri, mereka tak lagi melihat dunia menjadi benar- salah dan hanya hitam- putih. Kalau mahasiswa- mahasiswa yang sudah tak 'putih' ini yang turun ke jalan, berdemo dan melantangkan suaranya agar didengar orang -orang tentu ini adalah awal masalah baru. Kalau di negara kita sedang ada permasalahan politik, seperti kasus ricuhnya pilpres kemarin atau RUU pilkada, maka bisa saja ada demo dari mahasiswa yang bernada politis sekali. entah setuju atau tidaknya.

Sama seperti ketika pilpres, maka di Pilkada DPRD ini saya sih cukup yakin nggak rame deh mahasiswa yang turun ke jalan. Hampir yakinnya saya, karena selain tingkat kekritisan mahasiswa masa kini (ya termasuk gue juga sih) udah menurun, tapi lebih- lebih juga karena adanya beberapa partai politik yang mulai menelusuri organisasi kampus untuk mengkader mahasiswa. Jadi, mahasiswa sebenarnya ketika diam saat ini, mereka tidak seperti generasi mahasiswa 98 yang serentak ambil suara, suara kami sudah beragam. Ada yang tidak peduli, ada yang peduli. Yang peduli ada yang karena mengambil perannya sebagai warga negara yang baik, ada pula yang peduli karena memang sudah terlibat di dunia yang politis tersebut. Mahasiswa mungkin terlihat masih di dunia awal kematangan mereka, namun siapa sangka mereka (atau kami?) bisa juga menjadi pengarah opini publik. Lebih dari itu, saya hanya mengharapkan buat mahasiswa masa kini untuk lebih bersuara, mencoba kritis untuk membenahi negeri dan mengawasi pemerintah. Banyak mahasiswa yang mungkin tidak punya wadah- wadah bersuara seperti organisasi mahasiswa di kampus, namun bukankah sosial media juga bisa? Saya mungkin baru tahu soal adanya parpol ini, atau gerakan berbau politik yang masuk kampus, dan untungnya sih ngga menyasar organisasi mahasiswa yang saya ikuti karena mungkin lingkup kami kecil ya.

Nampaknya ada sejumlah mahasiswa di organisasi besar kampus ini yang sudah menjadi kader- kader parpol, nah kalau dalam kasus pilpres atau Pilkada DPRD ini saya sih mikirnya mungkin bakal adem ayem aja. Pilkada DPRD juga kayaknya bakal setuju- setuju aja sih mereka jadi ngga bakal ada demo- demoan, sama kayak pilpres kemaren. Awalnya saya pikir karena mahasiswa sekarang sudah lebih canggih jadi lebih pintar menelusuri calon presiden terbaik jadi suara mahasiswa bakal cenderung seragam, eh ternyata tidak. Sepi loh bahkan itu ngga ada heboh yang demo mahasiswa padahal kondisi pilpres lagi karut marut banget. Saya sempat sih kepikiran, ah jangan- jangan karena elit mahasiswa sekarang ini sudah masuk partai nih makanya ngga berani mengambil sikap untuk turun ke jalan. Ah, sayangnya...

Jadi, bagusnya gimana dong? Ya saya sih agak kecewa kadang mahasiswa yang demo itu kok kadang suaranya berbeda dengan mahasiswa lain. Yang bersuara justru berbeda suaranya dengan orang- orang yang mereka wakili. Duh kalau sampe lulus mahasiswa ini jadi mencampurkan opini mahasiswa umum dengan opini politisnya, bisa berabe dong kalau nantinya mereka maju jadi wakil rakyat. Bisa- bisa suara rakyat yang diwakilinya ngga terdengar lagi :)))
Sebagai rakyat atau (mantan) mahasiswa sih saya masih kecewa terhadap wakil- wakil yang katanya mewakili suara saya ini.

Katanya sih mewakili suara mahasiswa, mewakili suara rakyat, tapi kok seringnya beda? 


-HS-

0 comments