Bila bicara mengenai sebuah tempat belumlah lengkap rasanya bila tidak membahas kondisi sosial budaya masyarakatnya. Pun ketika saya sedang bertugas di desa Setumuk ini. Hari pertama saya tiba di desa tanggal 2 Desember. Kala itu warga desa sedang sibuk mempersiapkan acara pisah sambut Pengajar Muda. Setiba di pelabuhan desa yang mungil ini, rupanya di pelabuhan sudah banyak orang menunggu. Mungkin mereka menanti seperti apa rupa wajah guru barunya. Tak heran karena sebelumnya guru mereka adalah laki- laki dan kini digantikan oleh guru perempuan.
Barang bawaan saya yang banyak itu langsung disambut oleh anak- anak SD, yang kini menjadi murid saya. Rumah tempat tinggal saya rupanya tak terlalu jauh dari pelabuhan. Kurang lebih 2-3 menit berjalan kaki saya telah tiba di rumah panggung yang ada di depan gedung serbaguna desa. Desanya pun tak terlalu ramai, kecil saja hanya satu jalur lurus dari pelabuhan ke sekolah hingga ujung desa. Kurang lebih 80 kk yang ada di Setumuk ini.
Tak ada penyambutan yang berlebihan, meski begitu mereka tetap menyambut dengan sapaan dan senyum terhangatnya. Saya begitu senang ketika pertama berbincang dengan ibu- ibu guru yang ada di rumah dan menyambut saya. Mereka ternyata bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan memang rata- rata masyarakat Natuna memang bisa berbahasa Indonesia. Sehari- hari menggunakan bahasa Melayu yang memang akar dari bahasa Indonesia rupanya cukup mempengaruhi kemampuan mereka berbahasa. Meski demikian di Setumuk menggunakan bahasa Melayu kampung yang jika didengar cukup berbeda dengan dialek bahasa Melayu pada umumnya. Mereka menyebut bahasa mereka dengan ‘bahasa Melayu kampung’, dialeknya jika didengar mirip dialek Thailand dan banyak kosakata yang berbeda dengan bahasa Melayu umum.
Selain bahasa, masyarakat Natuna rupanya amat terbuka dengan warga pendatang. Untuk di Setumuk sendiri memang tak terlalu banyak pendatang saat ini. Setidaknya ada saya, petugas paramedis yang menjaga puskesmas desa yang berasal dari Jawa Timur, ibu kepala sekolah saya yang dari Ponorogo dan ada beberapa warga lainnya yang juga pendatang namun sudah lama menetap di sini. Hal pertama yang mereka tanyakan tentang sepinya desa. “Bu, di sini sepi. Gimana bu apa betah sejauh ini?”, tanya mereka. Tentu saya betah. Bukan karena ramai atau sepinya desa. Tapi tentang bagaimana hari- hari saya berjalan di sini. Setidaknya akan selalu ada pemandangan indah yang disuguhkan di Setumuk, pun banyak warganya yang perduli pada saya jadi tentu saya tidak merasa kesepian. Terlebih ada anak- anak murid yang bisa saya ajak main kapan saja.
Keramahan warga pun begitu nyata saat saya terkadang berjalan- jalan keliling kampung. Dengan ditemani anak- anak, saya menemani mereka bermain atau sekadar menikmati sore. Setiap saya menyapa warga setidaknya akan ada yang menawari saya mampir ke rumahnya. Bahkan ada warga yang mengajak saya untuk menginap di rumahnya, sampai seminggu pun tak masalah katanya. Hal semacam inilah yang membuat saya merasa nyaman dan aman bila tinggal di sini. Keramahan warganya tak hanya sekadar basa- basi saja.
Pernah suatu ketika saat ada kenduri di rumah RW, ibu- ibu di sana berucap: “Bu Hanna, kalau ada yang kurang atau ada apa- apa bisa bilang ke kami. Kalau soal bikin kue kami bisa bu, tapi kalau ilmu mungkin bu Hanna yang bisa. Apapun yang ibu butuhkan, asal bukan soal ilmu kami bisa bantu bu”. Saling bantu- membantu, itulah yang mereka harapkan. Jadi bila kelak anak- anak Setumuk ini ada yang merantau ke Jakarta, mereka berharap saya pun dapat membantu mereka. Saya tentu senang begitu tahu kalau mereka pun punya cita- cita supaya anak mereka bisa merantau ke Jawa, atau bahkan ke Jakarta. Untuk kehidupan yang lebih baik, mengapa tidak?
Soal rantau merantau ini pun pernah menjadi pembicaraan hangat saya di majelis guru. Di desa Setumuk sendiri jumlah penduduknya hampir selalu sama dari tahun ke tahun. Tak terlalu banyak yang bertambah, entah karena kelahiran atau pindah menetap. Kalau dilihat pun memang orang- orang usia produktif tak terlalu banyak di Setumuk. Hal ini disinyalir karena memang tak ada lapangan kerja yang memadai di sini. Pekerjaan yang tersedia di Setumuk memang antara bekerja di kantor desa, sekolah SD atau TK, atau menjadi nelayan dan bertani cengkeh. Untuk 2 pekerjaan terakhir tadi memang jenis pekerjaan yang ada karena kondisi geografis. Hal tersebut bisa juga berarti ya pekerjaan tersebut dapat terhenti sementara waktu karena keadaan cuaca. Jadi biasanya orang muda di Setumuk memilih pindah jika sudah menikah, entah karena ikut pasangan atau mencari pekerjaan di tempat lain. Ini masih analisis sederhana kami para guru dari perbincangan sekilas kemarin. Saya pun mengamati memang akan selalu ada warga yang datang dan pergi tapi jumlah yang pergi sering kali lebih banyaj daripada warga yang datang menetap sehingga jumlah warga pun tak pernah naik demikian signifikan. Untuk jumlah murid SD pun turut berpengaruh dari jumlah penduduk Ini sendiri. Jumlah murid di SD kami pun hanya berkisar di angka hampir 50an saja, tak lebih. Tentu hal ini juga dikarenakan tak pernah ada jumlah penduduk datang dalam angka yang besar. Kalau ada pendatang baru, maka biasanya akan ada yang pindah juga. Ajaib ya? Tapi meski demikian dengan sedikitnya jumlah penduduk membuat desa kami masih terasa hangat dan kekeluargaan. Bila ada satu kabar berita apapun akan cepat menyebar dari ujung ke ujung. Desa Setumuk pun hanya punya 1 jalan besar di desa, jadi setiap yang datang akan selalu terlihat dari rumah ke rumah. Pusat kegiatan ataupun keramaian warga mudah dilihat di tengah- tengah desa.
Biasanya warga Setumuk suka berkumpul sore hari di lapangan voli. Entah mengobrol, main voli atau sepak takraw, menonton orang tanding voli. Atau ada pula anak- anak yang hobi bermain guli (kelereng) di tanah lapang kecil sebelah masjid.
Jadi demikian wajah masyarakat Natuna yang saya lihat dalam sebulan di sini. Meski tanpa gambar, semoga dapat mewakilkan dan memberikan sekilas gambaran melalui tulisan ini Semoga senyum hangat masih terus tersalur hingga hari terakhir saya ada di sini ya.
Sampai jumpa di tulisan tentang Natuna lainnya!
Cheers,
Hanna
*di poskan dari desa Setumuk*
Barang bawaan saya yang banyak itu langsung disambut oleh anak- anak SD, yang kini menjadi murid saya. Rumah tempat tinggal saya rupanya tak terlalu jauh dari pelabuhan. Kurang lebih 2-3 menit berjalan kaki saya telah tiba di rumah panggung yang ada di depan gedung serbaguna desa. Desanya pun tak terlalu ramai, kecil saja hanya satu jalur lurus dari pelabuhan ke sekolah hingga ujung desa. Kurang lebih 80 kk yang ada di Setumuk ini.
Tak ada penyambutan yang berlebihan, meski begitu mereka tetap menyambut dengan sapaan dan senyum terhangatnya. Saya begitu senang ketika pertama berbincang dengan ibu- ibu guru yang ada di rumah dan menyambut saya. Mereka ternyata bisa berbahasa Indonesia dengan lancar dan memang rata- rata masyarakat Natuna memang bisa berbahasa Indonesia. Sehari- hari menggunakan bahasa Melayu yang memang akar dari bahasa Indonesia rupanya cukup mempengaruhi kemampuan mereka berbahasa. Meski demikian di Setumuk menggunakan bahasa Melayu kampung yang jika didengar cukup berbeda dengan dialek bahasa Melayu pada umumnya. Mereka menyebut bahasa mereka dengan ‘bahasa Melayu kampung’, dialeknya jika didengar mirip dialek Thailand dan banyak kosakata yang berbeda dengan bahasa Melayu umum.
Selain bahasa, masyarakat Natuna rupanya amat terbuka dengan warga pendatang. Untuk di Setumuk sendiri memang tak terlalu banyak pendatang saat ini. Setidaknya ada saya, petugas paramedis yang menjaga puskesmas desa yang berasal dari Jawa Timur, ibu kepala sekolah saya yang dari Ponorogo dan ada beberapa warga lainnya yang juga pendatang namun sudah lama menetap di sini. Hal pertama yang mereka tanyakan tentang sepinya desa. “Bu, di sini sepi. Gimana bu apa betah sejauh ini?”, tanya mereka. Tentu saya betah. Bukan karena ramai atau sepinya desa. Tapi tentang bagaimana hari- hari saya berjalan di sini. Setidaknya akan selalu ada pemandangan indah yang disuguhkan di Setumuk, pun banyak warganya yang perduli pada saya jadi tentu saya tidak merasa kesepian. Terlebih ada anak- anak murid yang bisa saya ajak main kapan saja.
Keramahan warga pun begitu nyata saat saya terkadang berjalan- jalan keliling kampung. Dengan ditemani anak- anak, saya menemani mereka bermain atau sekadar menikmati sore. Setiap saya menyapa warga setidaknya akan ada yang menawari saya mampir ke rumahnya. Bahkan ada warga yang mengajak saya untuk menginap di rumahnya, sampai seminggu pun tak masalah katanya. Hal semacam inilah yang membuat saya merasa nyaman dan aman bila tinggal di sini. Keramahan warganya tak hanya sekadar basa- basi saja.
Pernah suatu ketika saat ada kenduri di rumah RW, ibu- ibu di sana berucap: “Bu Hanna, kalau ada yang kurang atau ada apa- apa bisa bilang ke kami. Kalau soal bikin kue kami bisa bu, tapi kalau ilmu mungkin bu Hanna yang bisa. Apapun yang ibu butuhkan, asal bukan soal ilmu kami bisa bantu bu”. Saling bantu- membantu, itulah yang mereka harapkan. Jadi bila kelak anak- anak Setumuk ini ada yang merantau ke Jakarta, mereka berharap saya pun dapat membantu mereka. Saya tentu senang begitu tahu kalau mereka pun punya cita- cita supaya anak mereka bisa merantau ke Jawa, atau bahkan ke Jakarta. Untuk kehidupan yang lebih baik, mengapa tidak?
Soal rantau merantau ini pun pernah menjadi pembicaraan hangat saya di majelis guru. Di desa Setumuk sendiri jumlah penduduknya hampir selalu sama dari tahun ke tahun. Tak terlalu banyak yang bertambah, entah karena kelahiran atau pindah menetap. Kalau dilihat pun memang orang- orang usia produktif tak terlalu banyak di Setumuk. Hal ini disinyalir karena memang tak ada lapangan kerja yang memadai di sini. Pekerjaan yang tersedia di Setumuk memang antara bekerja di kantor desa, sekolah SD atau TK, atau menjadi nelayan dan bertani cengkeh. Untuk 2 pekerjaan terakhir tadi memang jenis pekerjaan yang ada karena kondisi geografis. Hal tersebut bisa juga berarti ya pekerjaan tersebut dapat terhenti sementara waktu karena keadaan cuaca. Jadi biasanya orang muda di Setumuk memilih pindah jika sudah menikah, entah karena ikut pasangan atau mencari pekerjaan di tempat lain. Ini masih analisis sederhana kami para guru dari perbincangan sekilas kemarin. Saya pun mengamati memang akan selalu ada warga yang datang dan pergi tapi jumlah yang pergi sering kali lebih banyaj daripada warga yang datang menetap sehingga jumlah warga pun tak pernah naik demikian signifikan. Untuk jumlah murid SD pun turut berpengaruh dari jumlah penduduk Ini sendiri. Jumlah murid di SD kami pun hanya berkisar di angka hampir 50an saja, tak lebih. Tentu hal ini juga dikarenakan tak pernah ada jumlah penduduk datang dalam angka yang besar. Kalau ada pendatang baru, maka biasanya akan ada yang pindah juga. Ajaib ya? Tapi meski demikian dengan sedikitnya jumlah penduduk membuat desa kami masih terasa hangat dan kekeluargaan. Bila ada satu kabar berita apapun akan cepat menyebar dari ujung ke ujung. Desa Setumuk pun hanya punya 1 jalan besar di desa, jadi setiap yang datang akan selalu terlihat dari rumah ke rumah. Pusat kegiatan ataupun keramaian warga mudah dilihat di tengah- tengah desa.
Biasanya warga Setumuk suka berkumpul sore hari di lapangan voli. Entah mengobrol, main voli atau sepak takraw, menonton orang tanding voli. Atau ada pula anak- anak yang hobi bermain guli (kelereng) di tanah lapang kecil sebelah masjid.
Jadi demikian wajah masyarakat Natuna yang saya lihat dalam sebulan di sini. Meski tanpa gambar, semoga dapat mewakilkan dan memberikan sekilas gambaran melalui tulisan ini Semoga senyum hangat masih terus tersalur hingga hari terakhir saya ada di sini ya.
Sampai jumpa di tulisan tentang Natuna lainnya!
Cheers,
Hanna
*di poskan dari desa Setumuk*
2 comments
Sis inspirasional sekali
ReplyDeleteSis inspirasional sekali
ReplyDelete