Tinggal di Natuna, kabupaten yang kecil bila dilihat di peta.
Rasanya pun amat jauh bila kita ambil garis awal perjalanan dari ibukota Jakarta.
Tapi di sinilah saya berada untuk satu tahun ke depan. Menghabiskan sepanjang tahun 2017 dan usia 25 tahun saya di desa Setumuk, 3 jam perjalanan bila dari ibukota kabupaten, Ranai.
Pertama kali mengetahui bahwa dapat tugas di Natuna, tak banyak info yang saya dapatkan dari Google. Ternyata Google don’t tells you everything. Google didn’t updated about Natuna. Sedikit sekali info tentang Natuna, kalaupun ada yang dibahas hanyalah soal konflik antar negara yang terjadi di laut lepas Natuna. Atau yang kabar indahnya mengenai gambar keindahan laut atau pantainya.
Pertama kali tiba di Batam, kami masih harus terbang lagi ke Natuna dengan pesawat ATR selama satu setengah jam. Sampai di Ranai, ibukota kabupaten Natuna kami pun tiba di Lanud Raden Sadjad, bandara-nya Natuna. Tak ada tempat mendarat sepetti bandara lainnya karena bandara Natuna masih menumpang di landasan udara milik TNI AU. Jadi bagasi kami pun langsung diletakkan di lapangan luas. Jelas kaget karena kami sudah bersiap untuk pemeriksaan bagasi apalagi bagasi kami banyak sekali ditambah tak banyak penumpang waktu itu, jadilah kami bersiap repot. Tapi ternyata hanya sebuah lapangan luas lah yang menerima kami, tak ada atap. Ternyata bandara komersil Natuna ada tepat di sebelah Lanud Raden Sadjad, cuma sepertinya belum siap dibangun meski bangunannya sudah berdiri gagah.
Setelah dari bandara, kami dijemput oleh PM XI. Jangan harap ada taksi di sini, kita harus memastikan ada penjemput yang akan menjemput kita di bandara Ranai saat pesawat kita sudah tiba. Karena di Natuna tak ada istilah kendaraan umum atau angkot. Satu satunya kendaraan umum yang ada di sini hanyalah pompong dan kapal lainnya.
Kami dibawa ke Sisi Basisir, sebuah penginapan sekaigus restoran tempat kami menginap saat itu. Pertama tiba di Sisi Basisir, sementara yang lain sholat saya langsung melihat pantai yang terlihat jelas ada di belakang resto. Alamaak cantiknya pantainya. Kalau tidak salah namanya Pantai Kencana. Untungnya saat itu hari cerah dan terik, jadi kami mendapatkan view terbaik meski bau ikan langsung menyeruak menyambut kami begitu turun dari bus yang kami gunakan.
Hari itu pertama kalinya saya takjub melihat indahnya cuplikan pantai di Natuna melalui pantai Kencana. Yang saya tidak duga bahkan hingga sebulan di Natuna ini saya telah melihat banyak pantai dan lautan yang cantik. Bahkan kawan- kawan Pengajar Muda Natuna lainnya telah menginjakkan kaki ke Senoa, sebuah pulau cantik dengan air bening dan pasir putih yang tak terlalu jauh jika menyeberang dari Ranai.
Bahkan saya memang sudah sepatutnya bersyukur kala ditempatkan di desa Setumuk. Bagaimana tidak? Keindahan bawah laut yang ada di Setumuk, atau di wilayah Pulau Tiga memang dikenal dengan warna airnya yang biru kehijauan sehingga bisa langsung melihat indahnya kehidupan bawah lautnya. Katanya sih seru untuk snorkeling di sini meski saya belum pernah coba karena masih masuk musim utara.
Soal musim utara ini tak kalah menariknya. Musim utara merupakan salah satu musim yang menjadi momok masyarakat sini. Konon katanya ikan akan sulit untuk didapat, angin dan gelombang air laut pun sedang tinggi- tingginya. Jadi tak banyak juga nelayan dan pompong (kapal kayu kecil; akomodasi utama antar pulau) yang mau beroperasi di musim ini. Kalau pompong tak ada maka putuslah akses sementara untuk menyeberang ke pulau- pulau terdekat. Tapi selama saya ada di Setumuk belum pernah ada gelombang besar sekali, setidaknya demikianlah kata orang- orang sini. Katanya musim utara gagal, tak jadi datang tahun ini meski akhir tahun kemarin angin nampak mulai besar namun gelombang di lautan tidak sebesar 2 tahun lalu. Konon waktu itu katanya air pun sampai tinggi dan memenuhi jalanan di desa. Tapi setinggi- tingginya air di sini tidak pernah masuk rumah alias banjir seperti di ibukota Jakarta. Sementara kalau saya tinggal di Jakarta bulan Januari sudah bersiap- siap banjir.
Desa Setumuk merupakan desa yang terletak di tengah lautan. Setumuk punya laut dan bukit. Bahkan SDN 007 Setumuk membelakangi bukit dan menghadap ke arah laut. Pemandangan yang amat menyenangkan, terlebih bila hari cerah. Saya bisa menikmati beningnya air laut di pelabuhan terlebih bila sepi amat menyenangkan bisa melihat pemandangan di bawah laut sembari menikmati angin laut yang menerbangkan rambut saya perlahan. Tapi sejauh ini saya belum pernah bertahan lama di pelabuhan. Paling lama hanya sekitar satu jam, karena saya tak tahan juga masuk angin di sana. Mungkin karena belum terbiasa jadi masih gampang masuk angin selama di Natuna ini hehee.
Jadi selama satu bulan di sini, banyak hal yang saya syukuri. Semua nikmat melalui kekayaan alam yang saya jumpai di Natuna ini bahkan membuat saya sadar ternyata Indonesia memang betul- betul kaya. Masih banyak kekayaan alamnya yang belum dieksplor dengan maksimal, banyak keindahan alam yang belum diekspos media. Saya dan kawan- kawan Pengajar Muda Natuna lainnya bahkan berniat untuk membuat Natuna semakin dikenal dengan rajin mengekspos keindahan alamnya melalui sosial media. Ya memang harapannya tak lain supaya Natuna semakin dikenal orang, tak lagi bertanya- tanya: Dimana Natuna?
Rasanya pun amat jauh bila kita ambil garis awal perjalanan dari ibukota Jakarta.
Tapi di sinilah saya berada untuk satu tahun ke depan. Menghabiskan sepanjang tahun 2017 dan usia 25 tahun saya di desa Setumuk, 3 jam perjalanan bila dari ibukota kabupaten, Ranai.
Pertama kali mengetahui bahwa dapat tugas di Natuna, tak banyak info yang saya dapatkan dari Google. Ternyata Google don’t tells you everything. Google didn’t updated about Natuna. Sedikit sekali info tentang Natuna, kalaupun ada yang dibahas hanyalah soal konflik antar negara yang terjadi di laut lepas Natuna. Atau yang kabar indahnya mengenai gambar keindahan laut atau pantainya.
Pertama kali tiba di Batam, kami masih harus terbang lagi ke Natuna dengan pesawat ATR selama satu setengah jam. Sampai di Ranai, ibukota kabupaten Natuna kami pun tiba di Lanud Raden Sadjad, bandara-nya Natuna. Tak ada tempat mendarat sepetti bandara lainnya karena bandara Natuna masih menumpang di landasan udara milik TNI AU. Jadi bagasi kami pun langsung diletakkan di lapangan luas. Jelas kaget karena kami sudah bersiap untuk pemeriksaan bagasi apalagi bagasi kami banyak sekali ditambah tak banyak penumpang waktu itu, jadilah kami bersiap repot. Tapi ternyata hanya sebuah lapangan luas lah yang menerima kami, tak ada atap. Ternyata bandara komersil Natuna ada tepat di sebelah Lanud Raden Sadjad, cuma sepertinya belum siap dibangun meski bangunannya sudah berdiri gagah.
Setelah dari bandara, kami dijemput oleh PM XI. Jangan harap ada taksi di sini, kita harus memastikan ada penjemput yang akan menjemput kita di bandara Ranai saat pesawat kita sudah tiba. Karena di Natuna tak ada istilah kendaraan umum atau angkot. Satu satunya kendaraan umum yang ada di sini hanyalah pompong dan kapal lainnya.
Kami dibawa ke Sisi Basisir, sebuah penginapan sekaigus restoran tempat kami menginap saat itu. Pertama tiba di Sisi Basisir, sementara yang lain sholat saya langsung melihat pantai yang terlihat jelas ada di belakang resto. Alamaak cantiknya pantainya. Kalau tidak salah namanya Pantai Kencana. Untungnya saat itu hari cerah dan terik, jadi kami mendapatkan view terbaik meski bau ikan langsung menyeruak menyambut kami begitu turun dari bus yang kami gunakan.
Hari itu pertama kalinya saya takjub melihat indahnya cuplikan pantai di Natuna melalui pantai Kencana. Yang saya tidak duga bahkan hingga sebulan di Natuna ini saya telah melihat banyak pantai dan lautan yang cantik. Bahkan kawan- kawan Pengajar Muda Natuna lainnya telah menginjakkan kaki ke Senoa, sebuah pulau cantik dengan air bening dan pasir putih yang tak terlalu jauh jika menyeberang dari Ranai.
Bahkan saya memang sudah sepatutnya bersyukur kala ditempatkan di desa Setumuk. Bagaimana tidak? Keindahan bawah laut yang ada di Setumuk, atau di wilayah Pulau Tiga memang dikenal dengan warna airnya yang biru kehijauan sehingga bisa langsung melihat indahnya kehidupan bawah lautnya. Katanya sih seru untuk snorkeling di sini meski saya belum pernah coba karena masih masuk musim utara.
Soal musim utara ini tak kalah menariknya. Musim utara merupakan salah satu musim yang menjadi momok masyarakat sini. Konon katanya ikan akan sulit untuk didapat, angin dan gelombang air laut pun sedang tinggi- tingginya. Jadi tak banyak juga nelayan dan pompong (kapal kayu kecil; akomodasi utama antar pulau) yang mau beroperasi di musim ini. Kalau pompong tak ada maka putuslah akses sementara untuk menyeberang ke pulau- pulau terdekat. Tapi selama saya ada di Setumuk belum pernah ada gelombang besar sekali, setidaknya demikianlah kata orang- orang sini. Katanya musim utara gagal, tak jadi datang tahun ini meski akhir tahun kemarin angin nampak mulai besar namun gelombang di lautan tidak sebesar 2 tahun lalu. Konon waktu itu katanya air pun sampai tinggi dan memenuhi jalanan di desa. Tapi setinggi- tingginya air di sini tidak pernah masuk rumah alias banjir seperti di ibukota Jakarta. Sementara kalau saya tinggal di Jakarta bulan Januari sudah bersiap- siap banjir.
Desa Setumuk merupakan desa yang terletak di tengah lautan. Setumuk punya laut dan bukit. Bahkan SDN 007 Setumuk membelakangi bukit dan menghadap ke arah laut. Pemandangan yang amat menyenangkan, terlebih bila hari cerah. Saya bisa menikmati beningnya air laut di pelabuhan terlebih bila sepi amat menyenangkan bisa melihat pemandangan di bawah laut sembari menikmati angin laut yang menerbangkan rambut saya perlahan. Tapi sejauh ini saya belum pernah bertahan lama di pelabuhan. Paling lama hanya sekitar satu jam, karena saya tak tahan juga masuk angin di sana. Mungkin karena belum terbiasa jadi masih gampang masuk angin selama di Natuna ini hehee.
Jadi selama satu bulan di sini, banyak hal yang saya syukuri. Semua nikmat melalui kekayaan alam yang saya jumpai di Natuna ini bahkan membuat saya sadar ternyata Indonesia memang betul- betul kaya. Masih banyak kekayaan alamnya yang belum dieksplor dengan maksimal, banyak keindahan alam yang belum diekspos media. Saya dan kawan- kawan Pengajar Muda Natuna lainnya bahkan berniat untuk membuat Natuna semakin dikenal dengan rajin mengekspos keindahan alamnya melalui sosial media. Ya memang harapannya tak lain supaya Natuna semakin dikenal orang, tak lagi bertanya- tanya: Dimana Natuna?
1 comments
merindings mbak han! keren abiiiss! sering-sering nulis di blog ya mbaaakk, bakalan sering baca hehehe
ReplyDelete