google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU [PAPUA] Cerita Singkat Oleh-Oleh dari Asmat | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

[PAPUA] Cerita Singkat Oleh-Oleh dari Asmat

Rasanya baru kemarin saya sampai dari perjalanan 1 minggu di Papua. Satu minggu lalu saya kebetulan ada tugas ke Asmat dan Timika, 2 lokasi yang sebelumnya cuma ada di bayangan saya aja seperti apa bentuknya dan bagaimana jauhnya.

Menginjak tanah Asmat untuk pertama kalinya bukan perkara mudah, meski tak terlalu sulit buat saya. Ada banyak pikiran berkeliaran, banyak tanya di benak saya yang waktu itu belum terpenuhi jawabnya.

“Untuk sampai di Asmat, kita akan ambil pesawat yang transit ke mana dulu ya?”

“Kalau di sana cuacanya gimana ya? Dingin, panas, lembab?”

“Barang apa aja ya yang perlu dipersiapkan untuk di sana?”

“Eh katanya di Asmat itu nggak ada mobil, terus pada pakai apa ya?”

Dan sejumlah tanya lainnya yang masih menjadi misteri sampai hari keberangkatan itu pun tiba.

Perjalanan ke Asmat rupanya cukup 1x berpindah pesawat. Dari Jakarta ambil rute ke Timika, transit sekitar 40 menit di Makassar. Kemudian dari Timika nanti akan berganti pesawat kecil twin otter untuk melanjutkan perjalanan ke Bandara Ewer di Asmat.

Untuk rute Jakarta-Timika memakan waktu sekitar 6 jam 20 menit termasuk transit di Makassar. Selebihnya perjalanan dari Timika-Ewer perlu waktu 40 menit. Setelah itu perjalanan masih dilanjut dengan speedboat dari bandara Ewer menuju Agats, pusat kabupaten Asmat berada.

Mendengar kata Asmat pertama kalinya, yang terlintas di pikiran adalah tentang kekhasan budaya ukir dan patung kayu ala Asmat. Namun sayangnya para pengrajin saat itu cukup sulit dicari karena memang harus ke kampung pengrajin di Atsj yang berjarak 2 jam naik speedboat dari Agats. Kabarnya di Agats ada pengrajin ukiran namun belum tentu produksi setiap hari.

Selebihnya, Asmat hadir dengan banyak karunia Tuhan di dalamnya. Terhubung oleh sungai dari pulau ke pulau lainnya, antara daratan satu dengan daratan lainnya, Asmat punya keunikan tersendiri. Ia disebut Kota Seribu Papan, karena setiap rumah dan bangunan yang didirikan di atas tanah Asmat pada mulanya rumah panggung yang dibangun dari papan termasuk jalan-jalan penghubungnya. Namun di Agats sendiri, kota pusat keramaian di Asmat kini sudah hampir tidak ada jalanan berpapan, jalanan beberapa tahun belakangan diubah dari semula papan kini berbahan dasar beton.

Sebagian besar tanah di Asmat adalah rawa. Cukup sulit menemukan tanaman pangan di sekitar Agats. Rupanya tanaman sayur dan bahan pangan lainnya ditanam di daratan yang lebih tinggi, cukup jauh dari pusat kota kata teman saya.

Hari pertama di Asmat, begitu tiba di bandara Ewer kami tidak membuang banyak waktu untuk langsung mengambil beberapa dokumentasi di bandara. Berkeliling dari ujung ke ujung bandara yang tak seberapa luas. Dari bandara pun bahkan sudah “terkoneksi” dengan dermaga sungai yang diisi beberapa speedboat bersandar. Namun hilangkan bayangan dermaga sungai yang mapan dan permanen, di sini kita dapat menemui dermaga yang tersusun dari jalanan papan dan beton kemudian ada tangga yang harus kita turuni untuk naik ke speedboat.

Hari itu di Asmat, kedatangan kami disambut bak tamu, yang padahal tidak pernah kami minta ada penyambutan sedemikian rupa mengingat kami bukan siapa-siapa. Tanpa agenda atau misi yang aneh-aneh hanya sebatas menjalankan tugas. Kami bertiga dari Jakarta, dikalungkan noken masing-masing sebagai tanda selamat datang.

Ada banyak kabar menyeruak dari ruang-ruang bicara di Ewer. Ada banyak tanya, pesan, dan pendapat yang langsung ditujukan pada kami begitu kami menyeruput air minum perdana kami di bandara Ewer. Entah darimana kabarnya, kami dikiranya adalah utusan Presiden untuk menindaklanjuti kunjungan beliau ke Asmat tahun 2021 lalu. Ah ini tuduhan bukan main-main ini, kami saja takut untuk sekadar meluruskan gosip bahwa kedatangan kami murni untuk mendokumentasikan sarana dan prasarana transportasi di Asmat. Banyak warga diam-diam mengikuti langkah kecil kami setiap kami berpindah, padahal masih di lingkungan bandara! Ke gedung baru tempat terminal bandara dibangun, kami didekati serombongan bapak-bapak yang menyampaikan aspirasi. Ke arah pengrajin yang di sebelah kantor bandara, kami pun dihampiri dan dititipkan pesan. Pesannya apa? Beragam tapi yang pasti mereka punya banyak aspirasi untuk perbaikan hidup, cita-cita untuk tanah mereka, dan segala macam doa baik lainnya. Namun saya sadar kapasitas saya, tanpa menjanjikan apapun ya tentu pesan mereka kami tampung.

Ada beberapa tokoh yang kami jumpai. Sebagian besar memperkenalkan Asmat sebagai daerah sungai, di mana permasalahan terkait air bersih sulit didapat. Mayoritas menggunakan cadangan air hujan yang ditampung untuk keperluan sehari-hari. Untuk keperluan makan dan minum masih bisa didapatkan dari air galon yang tidak sulit ditemukan di Asmat. Tapi di sini lah poin kebaikan Tuhan yang saya bilang di awal. Air boleh sulit, tapi Tuhan selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk mencurahkan hujan di tanah Asmat. Selama 4 hari kami di Asmat, hujan sering sekali turun. Meski tak selalu deras, tapi hujan dan terik silih berganti datang. Hari boleh terik dan panas, tapi hujan kerap turun di beberapa waktu. Dalam 1 hari hujan bisa turun berkali-kali dan tiba-tiba deras tanpa mendung sebelumnya.

Salah satu hal yang paling berkesan buat saya tentang Asmat adalah bagaimana nama Presiden RI, Joko Widodo alias Jokowi adalah salah satu hal laris di Asmat. Mulai dari anak kecil yang diberi nama Jokowi oleh orang tuanya, hingga ke Jembatan Jokowi, Kampung Jokowi, dan lainnya. Rupanya beliau begitu diidolakan oleh masyarakat Asmat, terlebih setelah kunjungannya ke Asmat pada 2018 silam tatkala Asmat dikenakan status Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk. Cerita itu mengemuka berkali-kali selama kami di Asmat. Terlebih saat itu kami bersama salah satu wartawan foto, mbak Puspa namanya, yang pernah ke Asmat saat kunjungan Presiden kala itu. 

Tiba-tiba saja saat kami acara di Posyandu Agats, ada 2 pasang orang tua yang membawa anak-anak balitanya kepada kami. "Ibu katanya kemarin mencari anak yang namanya Jokowi ya? Ini dia yang digendong bapak Presiden kemarin," kata orang tuanya. 

Pembangunan rupanya dilakukan secara bertahap usai kunjungan Presiden tersebut. Mulai dari proyek jembatan besi yang dibangun Ditjen Bina Marga, termasuk pembuatan rumah-rumah di "Kampung Kaye atau Kampung Jokowi" yang dicat warna-warni. Dermaga Jokowi pun kabarnya sedang dalam pembangunan. Semula dermaga tersebut diberi nama sesuai lokasi kampungnya, namun atas permintaan warga nama jembatan tersebut menjadi Dermaga Jokowi. 

Satu hal lagi yang unik tentang Asmat yaitu: motor listrik. Kehadiran motor listrik ini rupanya sudah lama ada di Asmat. Sepenuhnya penggunaan motor listrik ini diatur oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Asmat, termasuk mengenai retribusi dan penggunaan nomor registrasi atau nomor polisinya. Bagi motor listrik pribadi, berplat hitam sementara plat kuning bagi motor listrik sewaan. Sepertinya khusus mengenai penggunaan sepeda motor listrik ini akan saya bahas di postingan yang lain.


4 hari penuh kami habiskan di Asmat. Berkeliling dari Pelabuhan Agats, dermaga-dermaga kecil, melintasi kampung, mampir ke Museum Asmat malam-malam. Melihat senja di Asmat, saat akan menuju museum, salah satu magical moment buat saya. Sayang kamera tidak dapat menangkap keindahan momen tersebut. Senja perlahan tenggelam dari balik tingginya tanaman-tanaman rawa. Saya  kurang tahu nama daerah yang saya lewati, yang jelas saat itu senja terindah muncul di rawa yang jauh dari pemukiman warga. Jarak antar rumahnya jauh, pun minim kebisingan dan cahaya sehingga ketika motor kami yang nyaris tanpa suara itu melintas, kami hanya dapat menikmati keindahannya dengan mata kami. Tidak ada foto yang tertangkap oleh kamera yang sempat diambil.

Tanggal 2 Juli, kami melanjutkan perjalanan ke Timika. Untuk perjalanan ke Timika akan saya bahas di postingan selanjutnya ya.


Ps: artikel ditulis per 8 Juli 2021. Perjalanan dilakukan tanggal 28 Juni-4 Juli 2021

-HS-

0 comments