google-site-verification=pmYaR7Wkl72nz8GRfCYRHkG7F2d5HrD-tTSuQpSxRqU Kenapa Kita Harus Menjaga Lisan | LIMA HURUF by Hanna Suryadika

Kenapa Kita Harus Menjaga Lisan

Holaa!
Lama tak berjumpa setelah tulisan terakhir yang saya update di blog adalah setahun lalu.
Betul-betul setahun lalu banget, karena dulu terakhir di bulan Oktober juga.
Kali ini saya mau bahas hal yang sebenarnya ga ringan-ringan banget tapi ga cukup serius untuk dibahas di meja makan.
Pernah ngga sih kepikiran betapa pentingnya menjaga setiap ucapan yang keluar dari mulut kita?
—-


Anak-anak SDN 003 Setumuk, Kabupaten Natuna.



Jadi dulu, 3 tahun lalu saya pertama kali masuk camp Indonesia Mengajar.
Memang sih di sana tidak ada detil materi yang mengajar atau mengharuskan kami untuk bagaimana bertata krama atau menjaga perkataan saat mengajar nanti. Meski demikian, dari pola pengajaran yang didapat, saya dituntuk untuk mampu melihat permasalahan secara holistik. Sekalipun kami marah di kelas nanti, lisan kami harus dijaga, sikap kami harus mampu dimaknai anak-anak tapi tak boleh terkesan buruk. Susah kan? Jadi begini, marah tentu saja boleh sama anak-anak di kelas. Tapi apa iya semarah itu sampai harus berkata kasar? Anak-anak tetap harus tahu bahwa gurunya sedang tidak setuju dengan sikap mereka, gurunya kecewa dan marah akan sikap mereka itu harus terbaca oleh anak-anak. Tapi yang sulit adalah menahan amarah untuk tidak berkata kasar dan cenderung melukai diri lawan bicara kita, termasuk anak-anak sekalipun.
Tentu tidak jarang kan kita mendengar ada orang tua (atau orang yang lebih tua) kerap marah kepada anak(-anaknya). Terkadang cacian, makian, bahkan ucapan yang tidak enak didengar juga kerap terlontar. Itulah akibat jika terlanjur emosi menguasai diri.
“Dasar anak bodoh”
“Pembangkang”
“Masa gitu aja ga bisa? Mau jadi apa nanti?”
 Belum lagi kalau suka terucap kalimat yang sudahlah isinya makian, ditambah juga dengan perbandingan dengan orang lain.
“Kamu kok ga percaya sih, pantes hidupnya susah, gak kayak si A”
Wihhh pedih kan? Sudah disalahkan, dimaki, dibandingkan pula dengan orang lain.
Antar orang dewasa terkadang sering kita temui pembicaraan seperti ini, itu saja sudah amat pedih dan menyayat hati kalau diucapkan lawan bicara dalam kondisi kepala panas. Tapi sering juga saya dapati ucapan tersebut diluncurkan kepada anak-anak. Sederhana, ketika pembagian nilai ulangan si anak tak mendapat nilai bagus dan cenderung tak sesuai harapan si orang tua, apa yang lantas didapatnya? Kalau tak ada pemukulan kadang sering terdengar cacian pun melayang kepada si anak. Saya pernah dapat kasus begini waktu bertugas meski tak sampai ada kekerasan non verbal tapi si anak cukup deras menangis karena gagal jadi siswa terbaik pada 1 mata ulangan. Ujungnya si anak dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya.
—-

Saya adalah orang yang percaya bahwa dengan menjaga lisan, bertutur kata yang baik adalah cerminan kepribadian seseorang.
Pun demikian ketika saya katakan bahwa bukannya tak mungkin ucapana adalah doa, maka dari itu lisan harus betul-betul dijaga, terutama jika kita berinteraksi dengan anak-anak. Mungkin mereka terlihat lebih lemah, polos, dan tidak akan melawan kita sebagai orang tua, tapi saya yakin apa yang kita ucapkan kepada mereka akan terekam terus dalam memori mereka. Abadi hingga mereka dewasa, sewaktu-waktu ucapan yang pernah anda ucapkan akan terngiang-ngiang olehnya. Jika ucapan kita membahagiakannya maka ia akan tumbuh dengan kebahagiaan mengenang hal tersebut. Namun jika sebaliknya, kadang tentu ada amarah yang tumbuh bersama si anak seiring bertambahnya usia. Ia akan terus mengingat bagaimana ia pernah diolok-olok orang tuanya, dibandingkan dengan anak lain, tidak dihargai usahanya, dan lainnya.
Saat saya jadi guru, meski tak lama, saya ingin murid saya setidaknya mampu mengenang ucapan yang baik, tumbuh dengan kalimat motivasi yang bisa menginspirasinya.
Saya pernah begitu patah hati, ketika berkunjung ke rumah murid saya dan mendapati bahwa orang tuanya bilang, “Wah dia nih anaknya bodoh bu, tak bisa lah dia kerjakan seperti itu.” hingga akhirnya saya tanya langsung ke anaknya dan dia memang terbiasa hingga percaya bahwa dirinya bodoh dan tak mampu melakukan tugas apapun yang saya beri. Hari itu saya kecewa. Saya cuma ingin berharap siapa pun, di luar sana masih bisa mengeluarkan kalimat-kalimat positif, yang menularkan virus kebaikan dan optimisme. Terlebih untuk para orang tua yang selalu membandingkan, menyatakan kecewa, tak pernah mengapresiasi, berkata kasar terhadap anaknya semoga tulisan ini dapat menyadarkan anda bahwa ucapan (orang tua) adalah doa yang perlahan mampu membentuk kepribadian anak anda. Jadi, siapapun anda mari jaga lisan kita.

(It’s also a note for my self)

Regards
HS

Ps.tulisan terkonsep bulan Oktober, baru terselesaikan dan dipublish Desember 2019.

0 comments