Hari ini saya merasa beruntung jadi satu diantara sedikit orang Solo yang berkesempatan menonton film ini. Muncul perdana di Solo baru pada 11 Mei lalu dan kali ini saya berkesempatan menontonnya di XXI Solo Square hanya dengan belasan orang lainnya. Sehari sebelumnya, film ini sudah mendapatkan 'jatah' tayang sebanyak dua kali pemutaran, namun sayangnya di hari ini hanya mendapatkan satu kali pemutara di jam 13.15, entah alasannya kenapa, tapi tebakan saya karena memang tak banyak orang yang menyaksikan film yang menjadi Official Selection Film di Sundance Film Festival 2013 ini.
Film ini bercerita mengenai kehidupan Fitri (Ayushita) seorang tunanetra yang sehari- hari tinggal dan bersekolah di sebuah Sekolah Luar Biasa. Di SLB ini, Fitri berteman akrab dengan Diana (Karina Salim), seorang penderita low vision. Keduanya terlibat kisah cinta yang unik. Fitri terpaut hatinya pada seorang hantu dokter (Nicholas Saputra) yang ternyata samaran dari seorang preman tunarungu, sementara Diana menyukai teman sekelas mereka yang bernama Andhika (Anggun Priambodo) yang juga tunanetra.
Film yang juga disingkat Dont Talk Love ini memang khas film- film yang disajikan untuk tontonan di festival film. Banyak adegan- adegan yang dibiarkan tanpa dialog, penonton pun harus mengartikan sendiri makna adegan dan mencari jawaban yang tengah berlangsung di hadapan mereka. Selain itu, ritme film pun dibiarkan lambat mengikuti keseharian para tunanetra yang sehari- hari bersekolah di SLB ini.
Bagaimana kisah seorang tunanetra yang menjalin kasih dengan seorang tunarungu, juga kisah cinta antara Diana yang hanya bsia melihat dari jarak 2cm dengan Edo yang memang buta total berjalan, film ini menyuguhkan jawaban demi jawaban tentang cara penyampaian cinta itu sendiri dalam alur filmnya. Sayangnya, bagi saya masih ada adegan yang meloncat- loncat sehingga saya masih sulit menangkap maknanya. Ada satu masa ketika semua orang yang normal justru menjadi tunanetra, dan sebaliknya karakter yang difabel menjadi orang normal. Namun akhirnya, justru disitulah rupanya pesan penting yang ingin disampaikan film ini. Cinta akan tetap dapat dirasakan oleh siapapun dan bagaimanapun keadaan dirinya.
Film ini dimulai dengan lagu Burung Camar yang dinyanyikan oleh murid- murid SLB secara estafet. Suguhan adegan yang indah karena ketiga pemeran utama film ini, Fitri, Diana, dan Agus disorot kamera dari atas dalam posisi tertidur dengan kepala mereka saling beradu sambil bernyanyi Burung Camar. Kemudian perlahan- lahan penonton dibiarkan berkenalan dengan penghuni SLB tersebut yang ternyata memang beragam usianya. Lebih dari setengah jam berlalu, barulah kemudian sosok Nicholas Saputra muncul dalam karakter Edo yang ternyata adalah seorang preman.
Pada suatu adegan di malam hari di kolam renang khusus terapi di SLB tersebut, akhirnya Edo dan Fitri berkenalan tak resmi, Edo mewujud dalam sosok seorang hantu dokter yang sudah dari dulu memancing rasa ingin tahu Fitri. Hingga akhirnya surat demi surat dalam huruf Braille mengantarkan Edo dan Fitri untuk mengenal diri mereka satu sama lain. Edo pun yang awalnya seorang preman tunarungu ini rela setiap harinya untuk mengenakan stetoskop dan jas dokter 'palsunya' saat bertemu Fitri. Di sisi lain, Diana yang baru menginjak masa awal kedewasaanya, masih malu- malu mengutarakan perasaannya kepada Agus pun akhirnya berhasil mendekatkan dirinya dengan Agus.
What They Dont Talk About When They Talk About Love in memang benar- benar detail dalam menyampaikan sebuah cerita tentang orang- orang difabel. Bagaimana cara mereka sehari- hari menghabiskan waktu ketika jam sekolah usai, cara mereka berkomunikasi, hingga cara mereka menikmati waktu bermainnya semua dibiarkan dengan lambat sehingga penonton bisa mencermati adegan tersebut. Ada saat dimana Fitri menyisir rambut hingga hitungan ke seratus, dan penonton dibiarkan untuk ikut menghitung dari hitungan ke 70-an.
Film yang berjudul asli Extraordinary Me ini, berhasil membawa rasa takjub saya akan cara orang- orang difabel hidup dengan segala keterbatasan mereka. Dan ya, begitulah cinta tetap ada untuk mereka. Namun mereka menyatakan cinta melalui cara mereka sendiri, tidak harus melalui kata yang terucap. Tapi adegan- adegan dalam film ini lebih dari cukup untuk menggambarkan "What is love?".
Kesederhanaan dalam alur film ini membuat sedikit konflik yang muncul. Dan memang tak perlu ada konflik untuk membuat film ini menarik ditonton. Banyak adegan yang akan membuat anda bergumam 'oh ternyata...'. Membahas kehidupan orang- orang yang berkutat dengan soal- soal ujian Braille serta menjawabnya dengan alat tulis khusus penghasil tulisan Braille justru baru kali ini saya saksikan. Selain itu, momen ketika siswa- siswa tunanetra ini masuk ke lab. komputer dan mengetik menggunakan headphone, serta menggunakan handphone bersuara untuk menuntun mereka mengetik huruf demi hurufnya.
Silahkan nikmati film yang menyabet NETPAC Award pada International Film Festival Rotterdam ini dengan terlalu berharap pada kejutan- kejutan yang akan muncul, karena anda tidak akan mendapatkannya. Namun ikuti saja alurnya dan anda akan mendapatkan kepuasan tersendiri melalui film ini, karena film ini mengulas sisi lain cerita cinta orang- orang difabel yang mungkin tidak pernah kita perhatikan sebelumnya.
4 comments
selain ceritanya, judulnya juga keren: "What They Dont Talk About When Talk About Love". panjang gitu. beda2 ma film2 kebanyakan yg judulnya pendek2.
ReplyDeletesudah nonton kah? iya sih seperti film festival lain, mulai menarik perhatian dari judulnya.
Deletebelum nonton. malah tauya dari blog ini. tp setelah membaca review di atas, kayaknya tambah bimbang mau nonton. haha. lha minim dialog khas film festival Cannes sih.
Deletengomong2, salam kenal. dulu saya juga pernah ikut kelas AKBER lho.
iya jadi interpretasi penonton dibiarkan bebas gitu :D
Deleteok, i've met you at the first volunteer meeting of Earth Hour 2011. salam kenal, Pondra